Download Materi Kajian Islami

Thursday 25 December 2014

Ketika Media Mementingkan Rating Semata

Sumber: Google


Dalam sepekan terakhir ini beredar pemberitaan mengenai video parodi siswa SD bernyanyi dalam rangka mengkritik media pertelevisian Indonesia. Video pertama dinyanyikan oleh anak-anak usia SD dan video yang ke dua dinyanyikan oleh orang-orang dewasa yang berpura-pura sebagai anak SD.

Dalam video yang pertama berjudul “TV, Jasamu Tiada..” lebih menekankan pada efek pergaulan bebas yang dirasakan remaja bahkan anak-anak Indonesia karena TV. Lirik yang dinyanyikan merukpakan pkesetan dari lagu “Jasamu Guru”. Adapun lirik plesetan untuk video yang pertma ini adalah:

"Kita jadi bisa pacaran dan ciuman, karna siapa?  
Kita jadi tau masalah artis cerai, karena siapa?
Kita bisa dandan dibimbing TV  
Kita jadi lebay dibimbing TV
TV Pemerintah membuat gelap gulita  
Jasamu tiada...........!
Gimana mau maju, nontonnya itu!"

Sedangkan dalam video yang kedua dengan judul "PARODI! Sindiran Lebih Ancur Anak SD - Jasamu Tiada Tara - Sindiran & Kritik Tayangan Televisi.", lebih menekankan kepada tayangan-tayangan infotainmen yang merusak anak-anak. Berikut lirik lengkapnya:

Kita jadi gila, kayak Olga Syahputra…karena siaaaapa..
Kita jadi tahu, Nassar dan Muzdalifah… karena siaaaapa..
Kita jadi tahu Raffi dan Gigi..
Kita jadi lebay karena Syahrini..
Mending nonton Yucub, ada banyak hiburannyaaa..
Tivi tak bergunaaaa….

Memang, sejak tahun 2013 silam pertelevisian Indonesia banyak menuai kritikan pedas. Bahkan di bulan-bulan terakhir ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga harus turun tangan untuk membekukan penayangan sebuah sinetron yang sedang digilai para remaja Indonesia karena memuat pornografi dalam cerita anak sekolah. Tak hanya itu, kecaman keras pun datang pada sebuah stasiun TV swasta yang telah dengan sengaja menyiarkan pernikahan artis tanah air bahkan hampir seharian non stop. Kasus yang serupa tidak hanya sekali saja, sebuah stasuin TV bahkan pernah menyiarkan prosesi pertunangan serang artis seksi yang sekarang berujung pada ketidak langgengan. Seolah tidak kapok, bahkan ada juga stasuin TV yang berencana akan menayangkan prosesi kelahiran sepasang artis papan atas Indonesia.

Selayaknya sebuah media, baik elektronik maupun cetak menjadi sebuah media pembelajaran. Tapi pada faktanya kini, media hanya dijadikan alat bagi kaum kapitalis untuk meraup banyak keuntungan. Bagaimana tidak, harga satu episode sinetron yang memiliki reting tinggi saja –tidak peduli mutunya serendah apapun- bisa dihargai sebesar Rp 300 juta bahkan lebih. Sedangkan kita sama-sama tahu watak sinetron Indonesia yang seolah-olah latah, ikut-ikutan pasar. Ketika marak sinetron bertemakan hewan, maka hampir di setiap channel akan memiliki sinetron unggulan bertemakan hewan, mulai dari Srigala, Monyet bahkan Harimau. Tidak hanya itu, sangat jarang sebuah rumah produksi membuat sinetron yang berepisode sedikit, jumlahnya sangat banyak bahkan mencapai ratusan. Tidak heran jika mutu menjadi urutan yang terakhir dalam pembuatan sebuah draft cerita, yang utama adalah minat pasar dan keuntungan menaikan rating.

Pihak stasiun TV tak kalah menguntungkan dibandingkan rumah produksi. Jika sebuah sinetron berating tinggi ditayangkan di prime time, maka harga iklan per 30 detik bisa mencapai Rp 20 hingga Rp 60 juta. Padahal jatah iklan per satu episode bisa mencapai 20 menit. Maka dari iklan stasiun TV bisa meraup keuntungan hingga Rp 800 juta. Inilah mengapa stasiun TV tidak terlalu mementingkan dan memerdulikan kualitas dan isi apa yang ditayangkannya.

Sementara itu, pemerintah tak berdaya. Menteri Komunikasi dan Informasi periode pemerintahan SBY, Tifatul Sembiring, mengaku pemerintah tak memiliki kewenangan untuk menghentikan tayangan di TV karena terhalang UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, mengubah kewenangan mengntrol konten siaran TV dan radio ke KPI. Sedangkan KPI sendiri menyatakan bahwa kewenangan yang ada padanya pun dikebiri. KPI tidak bisa mencabut izin siaran stasiun TV yang melanggar aturan karena keberadaan isin itu justru ada di pemerintah. Walhasil KPI hanya mampu menegur, mulai dari teguran satu hingga tiga, baru masuk kepencabutan izin penyiaran. Itu pun memerlukan waktu yang cukup lama.

Inilah yang terjadi jika sebuah negara menggunakan sistem yang berbasis pada keuntungan semata. Akhlak dan moral penerus bangsa tidak dihiraukan jika keuntungan yang didapatkan lebih menggiurkan. Anak cucu mati kelaparan, masyarakat miskin ditelantarkan tidak menjadi persoalan ketika keuntungan datang di depan mata. Berbeda dengan negara berlandaskan islam, sudah pasti akan ada aturan dalam setiap penyiaran. Sebuah stasiun TV akan dikontrol penuh oleh pemerintah karena menyangkut informsi yang tersiar keseluruh masyarakat negara bahkan dunia. Kebijakan pertelevisian dirancang untuk mewujudkan pembangunan masyarakat islam yang kokoh dan kuat, melenyapkan unsur-unsur yang bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat islam, serta menonjolkan kebaikan dan keluhuran islam.

Program TV akan dilarang menayangkan hal-hal yang diharamkan oleh islam, seperti infotainmen ghibah, pemujaan terhadap materi, penonjolan hal-hal yang berbau seksualitas, tabarruj, serta siaran-siaran yang merendahkan akhlak manusia, dan lain sebagainya. Siapa saja yang membuat program-program siaran yang bertentangan dengan syariat dan akhlak islam akan dikenai sanksi yang tegas. Program-program siaran yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan akidah dan syariah akan dibekukan dan dilarang seketika, tanpa menunggu-nunggu waktu lama.

Itulah segelintir kebijakan negara berasaskan islam dalam mengatur pertelivisian. Dengan kebijakan yang demikian, TV akan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk mendidik masyarakat dan menyebarkan dakwah islam hingga ke penjuru dunia. Tidak seperti saat ini, peran TV sebagai media informasi dan pendidikan telah hilang. Semuanya terjadi karena negeri ini berasaskan kapitalisme yang berorientasi keuntungan semata, kualitas diakhirkan rating diutamakan. Oleh karena itu, sebagai manusia yang diberikan akal untuk berpikir, sudah selayaknya kita mampu memilih sistem mana yang mampu memberikan kesejahteraan dan keberkahan bagi umat, terutama bagi anak-anak penerus kita. Semuanya tergantung kita.

Wallohu’alam bi ashowab[]

Tulisan ini telah dimuat di SosialNews.com

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...