Alkisah ada seorang ayah berkata
pada anaknya,
“Wahai anakku, jika engkau menaruh kesal dan marah pada seseorang, maka
tancapkan paku-paku ini ke pagar..”
“Baik
ayah..”
Sang anakpun mengikuti apa yang
ayahnya katakan. Ketika sekali saja di merasa kesal dan marah pada sesorang,
dia selalu memaku pagar, terus, terus dan terus, hingga sampailah pada paku
yang ke-38 dan kini dia telah merasa mampu mengendalikan emosinya.
Lalu
sang anak berkata,
“Ayah, aku sudah mengikuti semua perkataanmu, dan kini aku mampu
mengendalikan emosiku..”
“Bagus..
Sekarang, jika kau telah meminta maaf kepada orang yang telah kau sakiti,
cabutlah kembali satu persatu paku yang ada dipagar itu..”
“Baik
ayah..”
Sang anak pun kembali mematuhi
perkataan ayahnya. Setelah dia meminta maaf pada orang yang telah dia sakiti,
dia pun mencabut paku yang dulu telah dia tancapkan di pagar. Terus seperti itu
hingga tak satu pun tersisa paku dipagar.
“Ayah, kini aku pun telah mencabut semua paku dipagar..”
“Bagus
nak.. Sekarang mari kita renungkan. Pagar yang kau tancapkan paku disana dan
kau cabut kembali pakunya, laksana hati
seseorang. Ketika kau sakiti, maka kau telah menancapkan paku di hatinya, dan
ketika kau meminta maaf, kau telah menghilangkan paku di hatinya. Namun anakku,
bisakah kau kembalikan pagar itu seperti semula sebelum kau tancapkan paku?”
Sang anak pun terdiam dalam
keheningannya..
Itulah sepenggal kisah yang saya
dapat dari acara KISI “Kajian Seputar Sains” di Aula Jurusan Fisika Universitas
Padjadjaran Kamis lalu. Sederhana memang, namun kisahnya sungguh menampar diri.
Betapa tidak, kisah itu sungguh penomena yang sering kita temui di kehidupan
kita, bahkan saya sendiri mengakui saya sering melakukannya. Melukai hati
seseorang dengan sengaja ataupun tidak, dan kita hanya menganggap dapat
menyelesaikannya dengan satu kata “maaf”.
Seolah-olah kata “maaf” merupakan
kata sapu jagat yang dapat dengan cepat menyelesaikan masalah. Namun ternyata,
dengan kata “maaf” kita tidak mampu
mengembalikan hati seseorang yang telah kita lukai.
Saya pun pernah berada pada
posisi “yang dilukai”, dan memang benar, sulit rasanya untuk melupakan suatu
hal yang menyakitkan untuk kita. Bahkan ketika kita pun tahu betapa Allah
menyukai seseorang yang meminta maaf dan memafkan, tetap saja ketika suatu
ketika seseorang yang pernah melukai atau mengecewakan kita kembali khilaf
melukai kita, kesalahannya dulu yang telah kita maafkan akan teringat lagi.
Memutar sendiri tanpa terkendali. Itulah yang dimaksud dalam kisah diatas, hati
kita tidak akan pernah sama seperti sebelum tersakiti, sama seperti pagar yang
masih terlihat lubang bekas pakunya.
Memang sih, menjaga perasaan
seseorang sangatlah sulit. Bahkan ketika pun kita tidak bermaksud melukainya,
terkadang ada saja yang merasa telah tersakiti. Tapi setidaknya menurut pendapat
saya ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga perasaan orang lain
ataupun diri kita sendiri.
Pertama, kita selalu berusaha untuk menjaga perasaan orang lain
lewat lisan dan tingkah laku kita. Hindari kata-kata yang akan membuat orang
tersinggung dan dijaga juga intonasinya. Jangan sampai kita bermaksud baik tapi
cara bicara kita menggunakan intonasi keras yang cenderung memerintah atau
memarahi, alhasil kita malah membuat dia tersinggung bahkan melukainya.
Kemudian tingkah laku kita pun harus selalu dijaga. Terutama terlihat dari mimik
muka kita.
Berkaitan dengan mimik muka,
saya teringat dengan sebuah hadits dari Abu Dzar ra., dia berkata; Rasulullah
bersabda:
“Engkau jangan menyepelekan kebaikan sedikit
pun, meski hanya sekedar bertemu saudaramu dengan wajah berseri-seri”. (HR.
Muslim)
Penjelasan pertama diatas tentu
bukan berarti kita tidak boleh tegas dan marah pada seseorang. Ketika memang
ada hal yang menyangkut pelanggaran hukum syara’, kita harus meng-amar ma’rufnya
dengan tegas, tapi juga tentunya dengan cara yang ahsan. Intinya kita harus benci dan cinta karena Allah, artinya
segala tindak tanduk kita berlandaskan pada keridhoan Allah.
Kedua,
kita harus selalu berprasangka baik, berkhusnudzan terhadap semua orang. Dengan
demikian, kita akan selalu ber-positifthinking
terhadap siapapun.
Itulah
sepenggal kisah yang diambil dari sedikit pengalaman saya. Lagi-lagi saya tekankan,
bukan berarti saya telah mampu menjaga perasaan orang lain hanya karena saya
telah menuliskannya, tapi tulisan ini semata-mata hanya untuk berbagi cerita
yang insya Allah bisa diambil manfaatnya. Melalui tulisan ini pun saya ingin
meminta maaf pada semua orang yang sempat terlukai hatinya oleh kekhilafan
saya. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita semua orang sabar, yang dengan
kesabaran itulah lubang-lubang dihati kita hilang dan menjadi sempurna seperti
sedia kala. J