Download Materi Kajian Islami

Monday, 3 December 2012

Susahnya Menjaga Hati.. "(-_-)"



               Alkisah ada seorang ayah berkata pada anaknya,
                “Wahai anakku, jika engkau menaruh kesal dan marah pada seseorang, maka tancapkan paku-paku  ini ke pagar..”
                “Baik ayah..”
               
                Sang anakpun mengikuti apa yang ayahnya katakan. Ketika sekali saja di merasa kesal dan marah pada sesorang, dia selalu memaku pagar, terus, terus dan terus, hingga sampailah pada paku yang ke-38 dan kini dia telah merasa mampu mengendalikan emosinya.
               
Lalu sang anak berkata,
                “Ayah, aku sudah mengikuti semua perkataanmu, dan kini aku mampu mengendalikan emosiku..”
                “Bagus.. Sekarang, jika kau telah meminta maaf kepada orang yang telah kau sakiti, cabutlah kembali satu persatu paku yang ada dipagar itu..”
                “Baik ayah..”

                Sang anak pun kembali mematuhi perkataan ayahnya. Setelah dia meminta maaf pada orang yang telah dia sakiti, dia pun mencabut paku yang dulu telah dia tancapkan di pagar. Terus seperti itu hingga tak satu pun tersisa paku dipagar.

                “Ayah, kini aku pun telah mencabut semua paku dipagar..”
                “Bagus nak.. Sekarang mari kita renungkan. Pagar yang kau tancapkan paku disana dan kau  cabut kembali pakunya, laksana hati seseorang. Ketika kau sakiti, maka kau telah menancapkan paku di hatinya, dan ketika kau meminta maaf, kau telah menghilangkan paku di hatinya. Namun anakku, bisakah kau kembalikan pagar itu seperti semula sebelum kau tancapkan paku?”

                Sang anak pun terdiam dalam keheningannya..

                Itulah sepenggal kisah yang saya dapat dari acara KISI “Kajian Seputar Sains” di Aula Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran Kamis lalu. Sederhana memang, namun kisahnya sungguh menampar diri. Betapa tidak, kisah itu sungguh penomena yang sering kita temui di kehidupan kita, bahkan saya sendiri mengakui saya sering melakukannya. Melukai hati seseorang dengan sengaja ataupun tidak, dan kita hanya menganggap dapat menyelesaikannya dengan satu kata “maaf”. Seolah-olah kata “maaf” merupakan kata sapu jagat yang dapat dengan cepat menyelesaikan masalah. Namun ternyata, dengan kata “maaf” kita tidak mampu mengembalikan hati seseorang yang telah kita lukai.
                Saya pun pernah berada pada posisi “yang dilukai”, dan memang benar, sulit rasanya untuk melupakan suatu hal yang menyakitkan untuk kita. Bahkan ketika kita pun tahu betapa Allah menyukai seseorang yang meminta maaf dan memafkan, tetap saja ketika suatu ketika seseorang yang pernah melukai atau mengecewakan kita kembali khilaf melukai kita, kesalahannya dulu yang telah kita maafkan akan teringat lagi. Memutar sendiri tanpa terkendali. Itulah yang dimaksud dalam kisah diatas, hati kita tidak akan pernah sama seperti sebelum tersakiti, sama seperti pagar yang masih terlihat lubang bekas pakunya.
                Memang sih, menjaga perasaan seseorang sangatlah sulit. Bahkan ketika pun kita tidak bermaksud melukainya, terkadang ada saja yang merasa telah tersakiti. Tapi setidaknya menurut pendapat saya ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga perasaan orang lain ataupun diri kita sendiri.
                Pertama, kita selalu berusaha untuk menjaga perasaan orang lain lewat lisan dan tingkah laku kita. Hindari kata-kata yang akan membuat orang tersinggung dan dijaga juga intonasinya. Jangan sampai kita bermaksud baik tapi cara bicara kita menggunakan intonasi keras yang cenderung memerintah atau memarahi, alhasil kita malah membuat dia tersinggung bahkan melukainya. Kemudian tingkah laku kita pun harus selalu dijaga. Terutama terlihat dari mimik muka kita.
                Berkaitan dengan mimik muka, saya teringat dengan sebuah hadits dari Abu Dzar ra., dia berkata; Rasulullah bersabda:
Engkau jangan menyepelekan kebaikan sedikit pun, meski hanya sekedar bertemu saudaramu dengan wajah berseri-seri”. (HR. Muslim)

                Penjelasan pertama diatas tentu bukan berarti kita tidak boleh tegas dan marah pada seseorang. Ketika memang ada hal yang menyangkut pelanggaran hukum syara’, kita harus meng-amar ma’rufnya dengan tegas, tapi juga tentunya dengan cara yang ahsan. Intinya kita harus benci dan cinta karena Allah, artinya segala tindak tanduk kita berlandaskan pada keridhoan Allah.
Kedua, kita harus selalu berprasangka baik, berkhusnudzan terhadap semua orang. Dengan demikian, kita akan selalu ber-positifthinking terhadap siapapun.

Itulah sepenggal kisah yang diambil dari sedikit pengalaman saya. Lagi-lagi saya tekankan, bukan berarti saya telah mampu menjaga perasaan orang lain hanya karena saya telah menuliskannya, tapi tulisan ini semata-mata hanya untuk berbagi cerita yang insya Allah bisa diambil manfaatnya. Melalui tulisan ini pun saya ingin meminta maaf pada semua orang yang sempat terlukai hatinya oleh kekhilafan saya. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita semua orang sabar, yang dengan kesabaran itulah lubang-lubang dihati kita hilang dan menjadi sempurna seperti sedia kala. J

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...