Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap dilanjutkan. Memang, pemindahan ibu kota suatu negara bukanlah satu hal yang baru. Nigeria memindahkan ibukota dari Lagos ke kota bernama Abuja pada tahun 1991. Ibukota Pakistan dipindahkan dari Karachi ke Islamabad pada tahun 1961. Brazil pernah beberapa kali memindahkan ibu kota negaranya, yang teranyar terletak di Brasilia. Selain itu ada juga negara Myanmar, Turki, Malaysia dan Kazakhstan. Namun yang perlu dikritisi adalah seberapa penting ibu kota negara Indoensesia dipindahkan? Apalagi yang akan menjadi ibu kota negara baru adalah kota yang dibangun dari nol, pasti akan memakana dana yang tidak sedikit.
Menurut Juri Ardiantoro, Deputi IV
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur
(Kaltim) membutuhkan anggaran kurang lebih Rp 466 triliun. Perkiraan kasarnya,
dari total dana sebesar Rp 466 triliun yang dibutuhkan, (pembiayaan dari) APBN
hanya sekitar Rp 89,4 triliun. Lalu KPBU dan swasta Rp 253,4 triliun, sementara
BUMN serta BUMD Rp 123,2 triliun. (https://ikn.go.id/,
29/06/2021).
Perkembangan terbaru, setelah
mengantongi Rp23,6 Triliun dari Kemenkeu, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) kabarnya meminta tambahan biaya Rp7—8 triliun untuk
pembangunan IKN. Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata
menyampaikan uang itu dipakai untuk persiapan pengembangan lahan bagi investor.
Namun, ia menegaskan jika biaya itu belum final, artinya ada kemungkinan bisa
membengkak. (Tempo, 22-03-2023).
Adanya pembengkakkan dana ini
digadang-gadang karena semakin tingginya minat investor yang hendak ikut
bergabung di IKN, sehingga butuh tambahan pembangunan terkait infrastrukturnya.
Tentu hal ini menjadi semakin dipertanyakan oleh banyak pihak, benarkah IKN
demi kepentingan rakyat ataukah ada kepentingan lain yang hendak dicapai?
Apalagi ditengah kondisi keuangan Indonesia yang kembang kempis pasca
mengalamai pandemi covid-19. Dana ratusan triliun yang dianggarkan untuk IKN
akan lebih bijak jika digunakan untuk kepentingan yang dirasakan langsung oleh
rakyat ketimbang membangun IKN yang direncanakan akan rampung tahun 2045 nanti.
Itu pun kalau lancar dan berhasil sesuai target membangun perekonomian negara,
jika sebaliknya maka tentu rakyat lagi yang menjadi korban.
Selain itu, menilik manisnya insentif
untuk investor yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023
tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas
Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara, sangat kental terlihat
bahwa yang lebih diuntungkan dalam pembangunan IKN bukanlah rakyat, tapi para
kapitalis.
Pertama, HGU bisa diperpanjang total hingga
190 tahun. Kedua, pemerintah memberikan hak guna bangunan (HGB) untuk satu
siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 80 tahun.
Ketiga,
perusahaan asing bebas pajak. Pembebasan pajak penghasilan badan (PPh) bakal
didapat jika perusahaan asing mau memindahkan kantornya ke IKN. Keempat, gaji
pekerja di IKN tidak dipotong pajak. Hal ini hanya berlaku bagi pekerja swasta.
Sementara pegawai ASN, pejabat negara atau pegawai yang gajinya dari APBN
dikecualikan. Kelima, pajak perusahaan infrastruktur dalam negeri dikurangi
100%. Keenam, pekerja asing bisa bekerja dan tinggal di IKN 10 tahun. Ini
artinya, setiap pelaku usaha, baik asing maupun dalam negeri bisa menggunakan
pekerja asing. Dalam hal ini, investor asing yang mau berinvestasi ke IKN bisa
turut membawa pekerjanya untuk mengerjakan proyek strategis yang ada di sana. (cnnindonesia,
10-3-2023).
Di dalam Islam pembangunan infrastruktur
lebih diprioritaskan pada fasilitas dan sarana publik yang dibutuhkan
masyarakat, seperti perbaikan jalan, penyaluran air dan listrik secara
keseluruhan di setiap wilayah dan pelosok desa. Selain itu, pembiayaan
infrastruktur tidak boleh dengan utang luar negeri dan investasi asing.
Investasi asing akan menjadi jalan bagi kapitalis mendominasi dan menjajah
suatu negeri. Negara yang berbasis syariat Islam memiliki instrumen
pembiayaan dari pos pemasukan Baitulmal
berupa hasil pengelolaan tambang dan SDA, harta ganimah, fai, kharaj,
jizyah, usyur, dan sebagainya.
Jikalau pemerintah negeri ini benar-benar
peduli rakyat, maka belum terlambat untuk menunda bahkan membatalkan mega
proyek IKN. Masih banyak hal urgen lain yang perlu dibenahi oleh pemerintah
selain pembangunan IKN. Tentunya kesejahteraan hakiki akan tercapai jika
segalanya bisa dikembalikan sesuai syariat Allah, karena Allah lah yang Maha
Pencipta yang Maha Tahu kebaikan seluruh makhluknya. Wallohualam bishowab.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.