Dari
kelima pasang tersebut, tiga diantaranya
bermuatan artis. Ketiganya cukup familiar di telinga masyarakat. Rieke seorang
perempuan asli Jabar yang sudah cukup lama bermain di kancah perpolitikan. Dede
Yusuf sosoknya serta kerjanya telah masyarakat kenal sejak menjabat menjadi
wagub bersama Aher. Dan yang terakhir Dedi Mizwar yang semua orang tau, dari
kalangan mana pun ia, bagaimana sosok senior artis ini, plus dengan
peran-peran acting-nya selama ini yang penuh dengan keisalaman.
Dilema Rakyat
dan Pencitraan Semata
Sungguh rakyat dibuat dilema
dengan pilkada sekarang. Betapa tidak, mungkin saja satu keluarga akan terpecah
suaranya. Sang Ayah dengan mantap memilih Rieke, karena dia adalah seorang
pelanggan “Kuku Bima”. Sang Ibu dengan yakin memilih Dede Yusuf, karena
ia pun selalu memilih “bodrex “ untuk mengatasi sakit kepalanya. Sang
anak tak mau kalah, ia haqul yakin memilih Dedi Mizwar karena ia bercita-cita
sebagai seorang atlet yang gemar makan “sozzis”. Lucu memang, tapi yang
perlu saya tekankan disini, bukan bermaksud promosi, atau menyindir iklan
tertentu, tapi inilah realita yang ada.
Jika kita mau berpikir lebih
jauh, sesungguhnya sosok-sosok yang mereka tampilkan hanyalah pencitraan
semata. Jauh api dari panggang, itulah kiranya pribahasa yang cock untuk
situasi yang ada pada pilkada Jabar saat ini. Mengapa demikian? Karena semua
pasangan, bahkan tidak hanya di pilkada Jabar saja, tetapi semua calon dari
suatu pemilu pasti akan mencalonkan orang yang memiliki kepopuleran tinggi di
mata masyarakat, bukan kerja serta sumbangsihnya pada masyarakat.
Mengapa Bisa
Terjadi?
Jika kita lihat, pencitraan pada
setiap pasangan pemilu sudah menjadi budaya di perpolitikan Indonesia. Jika
kita buat siklusnya, maka yang terjadi adalah mula-mula melakukan pencitraan di kampanye,
yang tentunya memakan dana yangtidaklah sedikit. Setelah terpilih, langkah
pertama adalah pengembalian modal yang telah dikeluarkan waktu kampanye,
tentunya yang paling mudah tidak lain dan tidak bukan dengan KKN. Tahap
selanjutnya setelah semua modal terkumpul, memutar cara kembali untuk
pencitraan di pemilu selanjutnya. Sungguh ironis, kapan mereka akan mengurusi
rakyat?
Semuanya itu adalah akibat
sistem yang Negara kita terapkan adalah Kapitalis Demokratis, yang justru
memicu adanya budaya perpolitikan yang terjadi sekarang. Bisa kita
perhitungkan, berapa kira-kira biaya yang diperlukan seseorang ketika
mencalonkan sebagai misalnya cagub dan cawagub? Ratusan juta bahkan mencapai
miliaran rupiah. Kira-kira dari mana uang sebanyak itu mereka dapat? Jadilah
sebuah jabatan itu termotifasi oleh uang, bukan semata-mata memajukan rakyat.
Selain telah nyata nampak
kecacatan serta kerugian akibat adanya demokrasi ini, kita sebagai seorang
muslim pun dengan jelas telah Allah peringatkan bahwa hanya aturan Allah lah
yang berhak digunakan di bumi Allah ini. Sebagai analogi, ketika kita menjadi
mahsiswa Universitas Padjadjaran, sudah barang tentu aturan yang kita pakai
adalah aturan Universitas Padjadjaran, bukan aturan selain Itu. Begitupun
dengan kita yang telah memilih islam, sudah tentu aturan yang kita pakai adalah
aturan islam. Aturan Sang Maha Pencipta yang pasti tahu apa yang terbaik untuk
ciptaan-Nya.
Jadi
Solusinya?
Tidak lah susah untuk medapatkan
solusi dari kegalauan atau kedilemaan yang masyarakat Jabar sekarang rasakan.
Apa itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan mengabaikan semua seruan
serta rayuan manis menyesatkan dari semua para calon, karena mereka jelas-jelas
tidak berdiri atas aturan islam. Aturan islam yang kaffah, bukan hanya
islam individu. So, yang harus kita lakukan sekarang adalah terus
memperjuangkan islam agar syari’ah islam segera diterapkan di Bumi Allah ini.
Karena Islam the one solution, nothing else. Pertanyaannya sekarang,
kita mau jadi penonton atau pemain? Pemain mana, pemain utama atau hanya
sekedar pemain figuran? :D
Life is
Choice..
Wallohu’alam
bi ashowab..
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.