Propaganda L68T kian masif, terutama pasca perhelatan akbar sepak bola dunia, dimana Qatar sebagai tuan rumah dengan tegas melarang adanya kampanye L68T dalam bentuk apapun. Bahkan Jessica Stern, utusan khusus Amerika Serikat di bidang L68TQI+ sempat berwacana berkeinginan untuk berkunjung ke Indonesia, meski pada akhirnya mendapatkan penolakan pula dari MUI.
Melihat awal mula perkembangannya,
LGBT di Indonesia setidaknya sudah ada sejak era 1960-an. Ada yang menyebut
dekade 1920-an. Namun, pendapat paling banyak menyebut fenomena L68T ini sudah
mulai ada sekitar dekade 60-an. Lalu, ia berkembang pada dekade 80-an, 90-an,
dan meledak pada era milenium 2.000 hingga sekarang. (28/01/2016,
republika.co.id)
Tidak ada angka pasti berapa jumlah
tepat populasi mereka, namun menurut riset Kemenkes RI tahun 2014,
setidak-tidaknya terdapat 1 juta orang lelaki penyuka sesama jenis termasuk
biseksual. Fenomena munculnya kaum L68T secara terang-terangan saat ini di media
sosial menimbulkan dugaan kuat bahwa jumlah mereka tak terhitung lagi, bukan
hanya sekedar kelompok kecil namun sudah menjadi sebuah organisasi yang hendak
memperjuangkan legalitasnya di mata hukum.
Meski sulit, terutama karena tekanan
masyarakat yang mayoritas beragama Islam, namun peluang pengesahan pengakuan
terhadap mereka agaknya masih ada. Terlihat dari tidak tegasnya sikap
pemerintah melalui perundang-undangan mengenai sanksi terhadap kaum L68T.
Teranyar bisa kita lihat dari KUHP yang baru disahkan. Meski tidak ada kata-kata
pelegalan, namun juga tidak terdapat pasal tegas pelarangan mereka.
Geliat pegiat HAM yang semakin kuat,
berpropaganda bahwa pemerintah tidak boleh bersikap diskriminatif, beralasan
bahwa konstitusi negara Indonesia jelas mengatakan setiap warga negara itu punya kedudukan yang
sama di hadapan hukum dan tidak boleh ada diskriminasi. Begitu pula dengan UU
HAM.
Sungguh Ironi, Indonesia yang dikenal
identitasnya sebagai negeri muslim terbesar di dunia namun tidak memiliki sikap
tegas terhadap hal yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat. Hal ini
terjadi sebagai buah pemikiran sekuler yang diemban oleh negara Indonesia.
Sesuatu yang jelas diharamkan oleh agama (Islam) tidak bisa dengan mudah
dilarang oleh negara, apalagi ketika ada arus global legalisasi L68T atas dasar
hak asasi dan hak seksual reproduksi. Indonesia yang tergabung dengan
organisasi internasional, yang tentunya mereka semua pro terhadap L68T, mau
tidak mau harus ikut serta dalam arus propaganda mereka.
Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan umat
akan hadirnya negara yang menerapkan aturan Allah secara kaffah. Karena, sampai
kapanpun kita tidak bisa berharap negara bersikap tegas terhadap kemaksiatan
selama negara kita masih berasaskan pada pemikiran sekulerisme. Islam kaffah hanya
mungkin terwujud apabila kesadaran umat terhadap Islam dan syariat Islam
semakin kuat dan dalam, Sehingga dengan sendirinya, umat menyadari dan
menginginkan syariat terwujud di tengah-tengah kehidupan. Wallohualam
bishowab.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.