Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba: Menulis Cerpen Nasional Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi Fakultas TAR
Cerpen kedua saya ini sebenarnya masih jauh dari bagus, maklum masih belajar. Kemenangan bukan tujuan, tapi pengalaman dan proses belajarnya yang paling berharga. :) Masih kayak karangan anak SD, hehehe
Kritik dan saran sangat ditunggu.. :)
Kritik dan saran sangat ditunggu.. :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fajar menyingsing di ufuk timur
menjadi awal suatu perjuangan. Perjuangan dalam menggapai cita-cita mulia yang
tiada bandingan. Meski lelah mengejar waktu, namun semangat itu tak mampu
terbendungkan. Tak jarang olok-olokan menjadi nyanyian pengisi hari. Namun tekadnya
tak pernah roboh dan tetap kokoh. Demi satu senyum indah yang ia ingin lihat
dari wajah sang Ibu, demi mata penuh binar bangga dari sang Ayah.
Ya, Sari adalah sosok perempuan yang
tak kenal lelah. Ia tak pernah menyerah dengan keadaan. Ia tak pernah kalah
dengan medan. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan, kesuksesan demi
kebahagiaan dan kebanggaan kedua orangtua yang teramat dia cintai. Ia selalu
membayangkan, suatu saat nanti ia akan mempersembahkan sebuah toga, topi
kebesaran kaum intelektual. Meski sebenarnya ia baru duduk di kelas IX sekolah
menengah pertama, namun pikirannya jauh menatap masa depan yang gemilang.
“Sari..Sari.. kalau mimpi tuh jangan
tinggi-tinggi, lihatlah realita yang ada. Kita tuh cuma orang kampung, Neng,
mana bisa kita kuliah sampai ke luar Negeri. Jangankan ke LN, bisa kuliah ke
Bandung aja kayaknya kita gak mungkin, kita kan orang kampung, orang udik!
Apalagi orangtua kita bukan orang kaya, mau bayar kuliah pake apa? Pake uang
hasil jualan combro?!”.
Sontak semua teman-teman sekelasnya
menertawakan Sari selepas mendengar ocehan Hari. Begitulah kehidupan
sehari-harinya. Teman-teman sekelasnya terkadang meragukan impian Sari untuk
dapat kuliah, bahkan bercita-cita sampai ke Jerman, seperti Pak Habiebie. Ia
selalu saja diragukan karena memang keadaan keluarganya yang sederhana. Tidak
cukup kaya, tapi juga tidak bisa disebut melarat. Cukuplah sebidang tanah
warisan kakek neneknya yang dijadikan sumber kebutuhan hidup keluarganya. Dari
singkong yang ditanam Ayahnya, Ibunya mengolahnya menjadi combro, makanan dari
tanah sunda. Orang bilang combro itu singkatan dari oncom dijero (bahasa
Sunda untuk di dalam), karena memang begitulah wujud makanan itu. Memang singkat-menyingkat
adalah salah satu kebiasaan orang sunda. Misalnya saja gehu, toge jeung tahu
(toge dan tahu), misro, amis di jero (manis di dalam), cimol, aci di gemol
(kanji di emut), batagor, baso tahu goreng, dan lain-lain. Dari combro yang
dibuat sang Ibu, lalu ia sering menitipkannya ke warung-warung, dan sebagiannya
lagi ia bawa sendiri ke sekolah untuk dijual di kelasnya.
“Hari bener tuh Sari. Biaya kuliah
kan mahal, jangan jauh-jauh mikirin kuliah, SMA aja belum tentu kita bisa
lanjutin. Walaupun kamu anak pinter, tapi kita juga harus lihat orangtua kita,
buat makan sehari-hari aja susah, apalagi buat biayain kita sekolah. Adik-adik
kita aja belum tentu bisa sampe SMP. Haduh, nasib…nasib…”.
Mendengar keluahan Lina, ia sedikit
termenung. Ia teringat pada kedua adik-adiknya. Khusaeri, adik pertamanya yang
laki-laki masih duduk di bangku SD kelas 5, sedang Faisal, adiknya yang bungsu
sama sekali belum sekolah. Ia bingung, jika ia mengejar cita-citanya, bukan hal
yang tidak mungkin ia akan sangat menguras biaya dari kedua orangtuanya. Ia
malah jadi berfikir, betapa tidak adilnya hidup ini. Di satu sisi dia melihat
orang-orang kaya yang bisa sekolah setinggi apa pun, mau jadi guru bisa, mau
jadi astronot bisa, mau jadi dokter juga bisa. Sedangkan dia dan kawan-kawan
senasibnya di kampung tidak bisa. Jangankan punya cita-cita tinggi seperti itu,
memimpikannya pun sepertinya tak pantas. Terlalu sayang rasanya waktu yang
digunakan untuk mengkhayal sesuatu yang tidak mampu dicapai. Dari pada banyak
mengkhayal, rasanya lebih baik waktunya digunakan untuk menolong orangtua
mereka yang susah payah bekerja hanya demi sesuap nasi. Ada yang menjaga
adik-adiknya di rumah, sementara kedua orangtuanya sibuk di sawah. Ada yang
menjaga warung, sementara ibu dan bapaknya sibuk di dapur, ada yang pergi ke
ladang, ikut menyangkul tanah pertanian orangtuanya, dan banyak lagi.
“Sari! Ngelamun aja, tuh dipanggil
bu Asri di kantor. Katanya mau ada yang dikasih.”
“Oh, iya maaf, gak ngelamun kok,
cuma lagi mikir doang. Makasih ya udah ngingetin”, ujarnya pada Wati.
Sesampainya di kantor ia langsung
menuju meja bu Asri. Guru yang satu ini terbilang dekat dengannya. Selain
karena bu Asri kenal dengan ibunya, kedekatan itu juga terjalin akibat
kepintaran Sari dalam pelajaran matematika, pelajaran yang diajarkan bu Asri.
“Eh Sari udah dateng, nih buku ‘Sang
Pemimpi’ yang ibu janjikan. Sok aja kalau mau dipinjem”, kata bu Asri.
Ia teringat, seminggu yang lalu ia
meminjam buku-buku motivasi dari guru matematikanya itu. Ya meskipun Sari anak
pinter, penuh semangat, dekat dengan semua gurunya, tetap saja ia membutuhkan
motivasi lebih untuk mencapai cita-citanya. Dan ternyata buku yang gurunya
pinjamkan itu sangat tepat. Dengan cerita tak putus asa dari Arai, Ikal dan
Jimbron (tokoh dari novel ‘Sang Pemimpi’), ia semakin mantap dengan pilihannya.
Ia bertekad bulat untuk mengejar cita-citanya di kota.
Selepas pengumuman kelulusan, ia
memberanikan diri meminta untuk sekolah di kota kepada kedua orangtuanya. Namun
tidak disangka, ternyata keinginannya itu didukung penuh oleh orangtuanya. Bukan
hanya mereka, guru-gurunya di SMP pun sangat mendukung, bahkan segala urusan
administrasi pendaftarannya pun diurusi oleh pihak sekolah. Jelas saja Sari
mendapat banyak dukungan, karena ia adalah bintang di sekolahnya. Meski SMP 9
Pakenjeng baru berdiri empat tahun saat kelulusannya, namun ia berhasil
menorehkan prestasi sampai tingkat kabupaten untuk sekolahnya itu. Dengan
kepintaran, pribadi yang santun, serta agama yang bagus, ia menjadi anak emas
di sekolahnya.
“Neng, Alhamdulillah, Neng keterima
di SMA yang Neng impikan”, kata pak Udin, guru Fisikanya.
Dalam hati, ia sedikit tak percaya.
Keraguan-keraguan yang selama ini orang lontarkan ternyata mampu terbantahkan.
Berkat do’a dan kerja kerasnya, akhirnya dia mampu melangkah demi mengejar
cita-citanya. SMA 11 Garut yang diimpikan, kini di depan mata. Bukan lagi
fatamorgana, itu nyata.
Minggu pertamanya di sekolah,
sungguh menguras banyak tenaga. Biasalah, budaya pendidikan di Indonesia yang
selalu diawali oleh MOS (masa orientasi siswa), yang seharusnya dijadikan ajang
perkenalan seluk-beluk tentang SMA, tapi beralih fokusnya menjadi ajang unjuk
gigi seniornya, ada juga yang menjadikannya sebagai ajang balas dendam,
pembulian tingkat tinggi. Setiap hari dibebani dengan berbagai tugas,
sampai-sampai banyak yang terkena penyakit kanker, alias kantong kering.
Mending kalau tuganya bermanfaat, ini tugasnya kadang-kadang gak masuk akal.
Seperti membuat puisi cinta untuk senior yang sama sekali tidak dikenalnya.
Sari, yang sama sekali belum pernah pacaran, dan sedikit pun tidak terbersit
dari dirinya untuk pacaran, jelas merasakan beban yang sangat berat.
Berkali-kali ia memutar otak, menumpahkan tinta di atas kertas, tapi tak mampu
ia selesaikan dengan baik. Sampai akhirnya setelah lima jam waktu berlalu, dan
ia terkapar dengan nafas panjang.
“Fuuhhhh… Akhirnya selesai juga
puisi cinta nya..”, lirihnya seiring tarikan nafas panjang.
Keesokan harinya sampailah ia pada
sesi pembacaan puisi cinta. Dari sekian ratus puisi cinta yang ada, akan
dipilih satu saja secara acak untuk dibacakan di depan semua siswa baru. Semua
siswa harap-harap cemas, berharap bukan milik dirinya yang terpilih, karena
akan sangat malu rasanya kalau puisi cintanya dibacakan di depan umum.
“Mohon perhatian semuanya, saya
sudah memilih satu puisi, dan akan saya bacakan segera. Tolong dengarkan
baik-baik”, kata Sidik, senior tingkat tiga yang cukup menjadi sorotan publik
karena ketampanannya.
...........................................
...........................................
............................................
Deg! Sontak jantung Sari
berdetak kencang. Makin lama ia mendengar puisi yang dibacakan seniornya itu,
makin tidak asing rasanya.
Astaghfirullah.. Itu kan puisi
Sari.., lirihnya dalam hati.
Mukanya merah padam. Serasa semua
mata tertuju padanya. Rasanya ia ingin berlari jauh dari sekolahnya yang baru
itu. Pikirannya melayang jauh. Ia berfikir bagaimana kalau dia jadi bulan-bulanan
selama dia sekolah? Ia menjadi bahan
gunjingan setiap orang. Ia jadi bahan tertawaan semua orang.
Eh lihat
deh, itu kan si Sari, anak baru yang ngasih puisi cinta buat si Amin.. PD
banget tuh anak, jelek juga!
Eh cewe genit! Godain gue dong..
Hahahahahahahah
“Sari?! Kamu kenapa? Kok mukanya pucet sih?”
Teguran Lati membuat Sari terhenyak
dari lamunannya yang liar.
“Mmh, ggkk.. gak apa-apa kok.. Kok
kamu biasa aja sih ngedenger puisi itu? Kamu gak malu ya deket-deket aku?”
“Kenapa harus malu Sari?”
Ia terheran, apakah teman barunya
itu tidak menyadari kalau puisi yang dibacakan itu puisi punya Sari? Ia terus
berpikir. Sampai akhirnya dia teringat bahwa seniornya menugaskan hanya mencantumkan
tujuannya saja, tanpa mencantumkan pengirimnya. Ia pun menghela nafas sebagai
tanda syukurnya.
Dua minggu berlalu, berlalu juga
penderitaannya sebagai siswa baru. Kini ia bisa menjalani hari-harinya sebagai
seorang siswa SMA normal tanpa ada tekanan dari seniornya lagi. Hari-harinya ia
jalani dengan penuh semangat. Selain serius menjalani bidang akademiknya, ia
pun tidak mau menyia-nyiakan masa SMA-nya begitu saja, alhasil dia menjadi
seorang aktivis. Dia aktif di berbagai ekstra kulikuler sekolah. Di tahun kedua
sekolahnya, dia bahkan mendapatkan amanah sebagai pradana (ketua pramuka
tingkat penegak) putri di ambalan
sekolahnya. Selain Pramuka, ia juga aktif di organisasi rohani islam (rohis)
yang sebenarnya lebih membuat dirinya nyaman ketimbang di ekskul yang lain.
Masa-masa SMA-nya ia jalani dengan
penuh hambatan dan tantangan. Terlebih karena asalnya yang dari kampung nun
jauh di sana. Malah sempat ia terkena virus minder, kurang percaya diri, merasa
dirinya tak sepintar teman-temannya dari kota. Tapi ternyata perasaannya itu mampu
ia halau, dan malah dijadikan sebagai motivasi terbesar hidupnya. Ia mampu
menonjol di antara teman-teman sekelasnya. Semester pertamanya di kelas
sepuluh, ia mendapat peringkat ke dua, namun di semester keduanya ia mampu
menjadi unggulan kelasnya.
Tantangan yang paling berat ia rasa
tatkala masuk di tingkat dua. Di kelas IPA nya yang baru, ia merasakan banyak
pesaing yang lebih tangguh darinya. Dari empat semester yang ia jalani, tiga
diantaranya ia tetap bertahan di peringkat dua, namun di akhir masa sekolahnya,
akhirnya dia mampu menyaingi rival sekelasnya. Perjuangan yang sangat panjang
baginya. Namun, perjuangan yang berujung bahagia, dan setimpal dengan
pengorbanannya.
“Sari, udah ada rencana kuliah ke
mana nih?”, tanya Zain, soulmatenya selain Lati.
“Belum tau nih Zain, pengennya sih
ke UPI, tapi kalau gak salah gak ada beasiswa langsung dari awal kalau ke UPI. Kalau
bukan beasiswa, takutnya orangtua aku gak menyanggupi biayanya. Kalau kamu
senidri gimana?”
“Aku sih pengennya jurusan HI di UI. Kan enak bisa jadi Dubes Indonesia
keluar negeri, hehehe. Kalau enggak, aku mau ke STAN aja, katanya langsung
kerja, dan biaya kuliahnya gratis. Kalau Lati gimana?”
“Wah, aku bingung nih teman, belum
ada rencana apa-pun, hehehe. Bukan karena apa-apa sih, tapi aku juga mikirin orangtua
aku, aku punya tiga orang adik yang semuanya masih sekolah, aku bingung
biayanya gimana.”
Mendengar keluhan Lati barusan, ia
pun juga jadi teringat adik-adiknya di rumah. Sama dengan Lati, ia juga mempunyai
adik-adik yang masih sekolah. Ia bertanya dalam hatinya, apakah ia mampu kuliah
ataukah tidak? Untuk semesteran sekolahnya saja ia sering menunggak, apalagi
untuk kuliah, di luar kota lagi. Bagaimana dengan biaya tempat tinggalnya?
Bagaimana dengan biaya hidupnya? Bagaimana dengan biaya akademiknya? Ia
bimbang, antara mengejar cita-citanya dengan mengurangi beban orangtuanya.
Kebimbangannya memuncak setelah ia gagal mendapatkan PMDK (Program Penelusuran
Minat dan Kemampuan) ke UPI. Rasa-rasanya dia sudah mulai putus asa dan hanya
berharap setidaknya dia mampu kuliah di kotanya saja.
Keesokan harinya secara tidak
disangka-sangka guru BK (bimbingan konseling) disekolahnya memanggil lima orang
siswa-siswi berprestasi di kelasnya. Beliau menawarkan beasiswa untuk masuk ke
perguruan tinggi yang cukup ternama di Jawa Barat, Universitas Padjadjaran
(Unpad). Awalnya dia tidak berniat sedikit pun untuk ikut. Selain dia tidak tertarik
ke universitas tersebut, dia pun merasa was-was, karena dari info-info yang dia
dapat dari temannya, mahasiswa Unpad itu gaul-gaul, trendy,
cantik-cantik, dan hal-hal modern lainnya. Karena ketidak percaya dirian itu
serta rasa takut terbawa arus pergaulan bebas, ia sempat tak melirik Unpad.
Namun karena keinginan kuliahnya yang kuat, ia pun tergerak untuk mengikutinya.
Ia pun mulai mengumpulkan segala persyaratan yang dia butuhkan untuk beasiswa
tersebut.
“Bu ini berkas-berkas persyaratan
beasiswa saya”
“Eh Sari, simpan di sini aja Sar.
Untung aja ngumpulnya hari ini, Sari pengumpul yang terakhir loh.”
“Hehe, maaf ya bu, soalnya saya
nunggu persyaratan yang dikirim orangtua saya di kampung, jadinya agak telat”
Sehari dua hari, seminggu dua
minggu, waktu terus berlalu, namun kabar kepastian beasiswa yang dia ikuti tak
kunjung tiba. Hingga timbul kegelisahan yang memuncak pada diri Sari. Dia yang
diam-diam masih mengharapkan dapat kuliah di UPI, merasa ciut hatinya setelah
mendengar kabar saudaranya yang juga ikut mendaftar masuk ujian mandiri ke UPI
tidak lulus. Hati dan semangatnya kian mengkerut setelah mendapat kabar
teman-temanya pun banyak yang berguguran dalam perjuangan seleksi ke
universitas yang mereka tuju. Sampai tibalah waktunya perpisahan di sekolahnya.
Graduasi tersebut cukup membuatnya terharu. Ia sama sekali tak menyangka bisa menjadi lulusan dari salah satu sekolah
terbaik di kotanya. Pidato-pidato perpisahan dari perwakilan seangkatannya
cukup membuatnya mengurai air mata. Begitu banyak kenangan yang ada. Susah,
senang, sedih, bahagia, suka, duka, semuanya ia alami. Terutama kenangan
bersama dua orang sahabatnya, Lati dan Zain. Ia berharap, setelah kelulusan ini
mereka masih bisa sedekat masa SMA-nya dulu.
“Sari! Ngelamun aja deh, Lati mana?
Perasaan aku gak ngeliat Lati dari tadi..”
“Iya Zain, aku juga gak ngeliat. Kita
sibuk sama masing-masing kelas sih..”
“Owh ya Sar, kamu udah liat hasil
beasiswanya belum? Aku udah, dan gak lulus”, ujar Zain yang juga ikut seleksi
beasiswa yang sama dengannya.
“Belum Za, emangnya udah ada
pengumumannya ya? Lihat di mana?”, tiba-tiba saja ia was-was, Zain aja yang
tidak kalah pintar darinya tidak lulus, apa lagi dirinya.
“Ada di web, coba kamu liat aja Sar,
nanti kabar-kabari aku ya hasilnya!”
Semenjak percakapannya itu hatinya
tak pernah tenang. Setelah acara graduasinya selesai, ia tidak banyak
membuang-bunang waktu. Sesampainya di rumah, ia hanya mengganti kebayanya
dengan baju biasa dan langsung menuju warnet terdekat di rumah bibinya. Tak
lama ia berada di warnet, setelah hasilnya ia ketahui, ia langsung pulang lagi.
“Kok cepet Sar, udah ada
pengumumannya?”
“Udah Om, Alhamdulillah, jadinya gak
harap-harap cemas lagi.”
“Gimana teh hasilnya?”
“Alhamdulillah, teteh lulus
bi, jurusan Fisika”, dengan muka sumringah dia menceritakan segalanya.
Hari itu merupakan hari paling
bahagia dalam hidupnya. Sungguh Allah telah banyak memberikan kemudahan
terhadap segala asanya. Memori-memorinya yang dulu kini berputar lagi
diingatannya. Bagaimana perjuangannya dalam mempertahankan cita-citanya.
Bagaimana komentar-komentar pedas dari orang-orang yang iri terhadapnya.
Bagaimana keraguan yang timbul dari keluarga jauhnya. Hanya orangtuanya lah
orang yang menjadi pemicu semangatnya. Orangtuanya yang mampu membuat dia
bertahan dalam setiap hambatan, tantangan dan rintangan yang datang menghadang.
Keinginan menyekolahkan kedua adik-adiknya pun menjadi kekuatan tersendiri
baginya. Kini, masa depan di depan mata. Tak ada lagi fatamorgana, semuanya
nyata baginya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.