Download Materi Kajian Islami

Sunday, 19 May 2013

Tak Sekedar Fatamorgana


Cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba: Menulis Cerpen Nasional Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi Fakultas TAR

Cerpen kedua saya ini sebenarnya masih jauh dari bagus, maklum masih belajar. Kemenangan bukan tujuan, tapi pengalaman dan proses belajarnya yang paling berharga. :) Masih kayak karangan anak SD, hehehe
Kritik dan saran sangat ditunggu.. :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Fajar menyingsing di ufuk timur menjadi awal suatu perjuangan. Perjuangan dalam menggapai cita-cita mulia yang tiada bandingan. Meski lelah mengejar waktu, namun semangat itu tak mampu terbendungkan. Tak jarang olok-olokan menjadi nyanyian pengisi hari. Namun tekadnya tak pernah roboh dan tetap kokoh. Demi satu senyum indah yang ia ingin lihat dari wajah sang Ibu, demi mata penuh binar bangga dari sang Ayah.
            Ya, Sari adalah sosok perempuan yang tak kenal lelah. Ia tak pernah menyerah dengan keadaan. Ia tak pernah kalah dengan medan. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan, kesuksesan demi kebahagiaan dan kebanggaan kedua orangtua yang teramat dia cintai. Ia selalu membayangkan, suatu saat nanti ia akan mempersembahkan sebuah toga, topi kebesaran kaum intelektual. Meski sebenarnya ia baru duduk di kelas IX sekolah menengah pertama, namun pikirannya jauh menatap masa depan yang gemilang.
            “Sari..Sari.. kalau mimpi tuh jangan tinggi-tinggi, lihatlah realita yang ada. Kita tuh cuma orang kampung, Neng, mana bisa kita kuliah sampai ke luar Negeri. Jangankan ke LN, bisa kuliah ke Bandung aja kayaknya kita gak mungkin, kita kan orang kampung, orang udik! Apalagi orangtua kita bukan orang kaya, mau bayar kuliah pake apa? Pake uang hasil jualan combro?!”.
            Sontak semua teman-teman sekelasnya menertawakan Sari selepas mendengar ocehan Hari. Begitulah kehidupan sehari-harinya. Teman-teman sekelasnya terkadang meragukan impian Sari untuk dapat kuliah, bahkan bercita-cita sampai ke Jerman, seperti Pak Habiebie. Ia selalu saja diragukan karena memang keadaan keluarganya yang sederhana. Tidak cukup kaya, tapi juga tidak bisa disebut melarat. Cukuplah sebidang tanah warisan kakek neneknya yang dijadikan sumber kebutuhan hidup keluarganya. Dari singkong yang ditanam Ayahnya, Ibunya mengolahnya menjadi combro, makanan dari tanah sunda. Orang bilang combro itu singkatan dari oncom dijero (bahasa Sunda untuk di dalam), karena memang begitulah wujud makanan itu. Memang singkat-menyingkat adalah salah satu kebiasaan orang sunda. Misalnya saja gehu, toge jeung tahu (toge dan tahu), misro, amis di jero (manis di dalam), cimol, aci di gemol (kanji di emut), batagor, baso tahu goreng, dan lain-lain. Dari combro yang dibuat sang Ibu, lalu ia sering menitipkannya ke warung-warung, dan sebagiannya lagi ia bawa sendiri ke sekolah untuk dijual di kelasnya.
            “Hari bener tuh Sari. Biaya kuliah kan mahal, jangan jauh-jauh mikirin kuliah, SMA aja belum tentu kita bisa lanjutin. Walaupun kamu anak pinter, tapi kita juga harus lihat orangtua kita, buat makan sehari-hari aja susah, apalagi buat biayain kita sekolah. Adik-adik kita aja belum tentu bisa sampe SMP. Haduh, nasib…nasib…”.
            Mendengar keluahan Lina, ia sedikit termenung. Ia teringat pada kedua adik-adiknya. Khusaeri, adik pertamanya yang laki-laki masih duduk di bangku SD kelas 5, sedang Faisal, adiknya yang bungsu sama sekali belum sekolah. Ia bingung, jika ia mengejar cita-citanya, bukan hal yang tidak mungkin ia akan sangat menguras biaya dari kedua orangtuanya. Ia malah jadi berfikir, betapa tidak adilnya hidup ini. Di satu sisi dia melihat orang-orang kaya yang bisa sekolah setinggi apa pun, mau jadi guru bisa, mau jadi astronot bisa, mau jadi dokter juga bisa. Sedangkan dia dan kawan-kawan senasibnya di kampung tidak bisa. Jangankan punya cita-cita tinggi seperti itu, memimpikannya pun sepertinya tak pantas. Terlalu sayang rasanya waktu yang digunakan untuk mengkhayal sesuatu yang tidak mampu dicapai. Dari pada banyak mengkhayal, rasanya lebih baik waktunya digunakan untuk menolong orangtua mereka yang susah payah bekerja hanya demi sesuap nasi. Ada yang menjaga adik-adiknya di rumah, sementara kedua orangtuanya sibuk di sawah. Ada yang menjaga warung, sementara ibu dan bapaknya sibuk di dapur, ada yang pergi ke ladang, ikut menyangkul tanah pertanian orangtuanya, dan banyak lagi.
            “Sari! Ngelamun aja, tuh dipanggil bu Asri di kantor. Katanya mau ada yang dikasih.”
            “Oh, iya maaf, gak ngelamun kok, cuma lagi mikir doang. Makasih ya udah ngingetin”, ujarnya pada Wati.
            Sesampainya di kantor ia langsung menuju meja bu Asri. Guru yang satu ini terbilang dekat dengannya. Selain karena bu Asri kenal dengan ibunya, kedekatan itu juga terjalin akibat kepintaran Sari dalam pelajaran matematika, pelajaran yang diajarkan bu Asri.
            “Eh Sari udah dateng, nih buku ‘Sang Pemimpi’ yang ibu janjikan. Sok aja kalau mau dipinjem”, kata bu Asri.
            Ia teringat, seminggu yang lalu ia meminjam buku-buku motivasi dari guru matematikanya itu. Ya meskipun Sari anak pinter, penuh semangat, dekat dengan semua gurunya, tetap saja ia membutuhkan motivasi lebih untuk mencapai cita-citanya. Dan ternyata buku yang gurunya pinjamkan itu sangat tepat. Dengan cerita tak putus asa dari Arai, Ikal dan Jimbron (tokoh dari novel ‘Sang Pemimpi’), ia semakin mantap dengan pilihannya. Ia bertekad bulat untuk mengejar cita-citanya di kota.
            Selepas pengumuman kelulusan, ia memberanikan diri meminta untuk sekolah di kota kepada kedua orangtuanya. Namun tidak disangka, ternyata keinginannya itu didukung penuh oleh orangtuanya. Bukan hanya mereka, guru-gurunya di SMP pun sangat mendukung, bahkan segala urusan administrasi pendaftarannya pun diurusi oleh pihak sekolah. Jelas saja Sari mendapat banyak dukungan, karena ia adalah bintang di sekolahnya. Meski SMP 9 Pakenjeng baru berdiri empat tahun saat kelulusannya, namun ia berhasil menorehkan prestasi sampai tingkat kabupaten untuk sekolahnya itu. Dengan kepintaran, pribadi yang santun, serta agama yang bagus, ia menjadi anak emas di sekolahnya.
            “Neng, Alhamdulillah, Neng keterima di SMA yang Neng impikan”, kata pak Udin, guru Fisikanya.
            Dalam hati, ia sedikit tak percaya. Keraguan-keraguan yang selama ini orang lontarkan ternyata mampu terbantahkan. Berkat do’a dan kerja kerasnya, akhirnya dia mampu melangkah demi mengejar cita-citanya. SMA 11 Garut yang diimpikan, kini di depan mata. Bukan lagi fatamorgana, itu nyata.
            Minggu pertamanya di sekolah, sungguh menguras banyak tenaga. Biasalah, budaya pendidikan di Indonesia yang selalu diawali oleh MOS (masa orientasi siswa), yang seharusnya dijadikan ajang perkenalan seluk-beluk tentang SMA, tapi beralih fokusnya menjadi ajang unjuk gigi seniornya, ada juga yang menjadikannya sebagai ajang balas dendam, pembulian tingkat tinggi. Setiap hari dibebani dengan berbagai tugas, sampai-sampai banyak yang terkena penyakit kanker, alias kantong kering. Mending kalau tuganya bermanfaat, ini tugasnya kadang-kadang gak masuk akal. Seperti membuat puisi cinta untuk senior yang sama sekali tidak dikenalnya. Sari, yang sama sekali belum pernah pacaran, dan sedikit pun tidak terbersit dari dirinya untuk pacaran, jelas merasakan beban yang sangat berat. Berkali-kali ia memutar otak, menumpahkan tinta di atas kertas, tapi tak mampu ia selesaikan dengan baik. Sampai akhirnya setelah lima jam waktu berlalu, dan ia terkapar dengan nafas panjang.
            “Fuuhhhh… Akhirnya selesai juga puisi cinta nya..”, lirihnya seiring tarikan nafas panjang.
            Keesokan harinya sampailah ia pada sesi pembacaan puisi cinta. Dari sekian ratus puisi cinta yang ada, akan dipilih satu saja secara acak untuk dibacakan di depan semua siswa baru. Semua siswa harap-harap cemas, berharap bukan milik dirinya yang terpilih, karena akan sangat malu rasanya kalau puisi cintanya dibacakan di depan umum.
            “Mohon perhatian semuanya, saya sudah memilih satu puisi, dan akan saya bacakan segera. Tolong dengarkan baik-baik”, kata Sidik, senior tingkat tiga yang cukup menjadi sorotan publik karena ketampanannya.
...........................................
...........................................
............................................
            Deg! Sontak jantung Sari berdetak kencang. Makin lama ia mendengar puisi yang dibacakan seniornya itu, makin tidak asing rasanya.
            Astaghfirullah.. Itu kan puisi Sari.., lirihnya dalam hati.
            Mukanya merah padam. Serasa semua mata tertuju padanya. Rasanya ia ingin berlari jauh dari sekolahnya yang baru itu. Pikirannya melayang jauh. Ia berfikir bagaimana kalau dia jadi bulan-bulanan selama dia sekolah? Ia  menjadi bahan gunjingan setiap orang. Ia jadi bahan tertawaan semua orang.
            Eh lihat deh, itu kan si Sari, anak baru yang ngasih puisi cinta buat si Amin.. PD banget tuh anak, jelek juga!
            Eh cewe genit! Godain gue dong.. Hahahahahahahah
                “Sari?! Kamu kenapa? Kok mukanya pucet sih?”
            Teguran Lati membuat Sari terhenyak dari lamunannya yang liar.
            “Mmh, ggkk.. gak apa-apa kok.. Kok kamu biasa aja sih ngedenger puisi itu? Kamu gak malu ya deket-deket aku?”
            “Kenapa harus malu Sari?”
            Ia terheran, apakah teman barunya itu tidak menyadari kalau puisi yang dibacakan itu puisi punya Sari? Ia terus berpikir. Sampai akhirnya dia teringat bahwa seniornya menugaskan hanya mencantumkan tujuannya saja, tanpa mencantumkan pengirimnya. Ia pun menghela nafas sebagai tanda syukurnya.                       
            Dua minggu berlalu, berlalu juga penderitaannya sebagai siswa baru. Kini ia bisa menjalani hari-harinya sebagai seorang siswa SMA normal tanpa ada tekanan dari seniornya lagi. Hari-harinya ia jalani dengan penuh semangat. Selain serius menjalani bidang akademiknya, ia pun tidak mau menyia-nyiakan masa SMA-nya begitu saja, alhasil dia menjadi seorang aktivis. Dia aktif di berbagai ekstra kulikuler sekolah. Di tahun kedua sekolahnya, dia bahkan mendapatkan amanah sebagai pradana (ketua pramuka tingkat penegak) putri  di ambalan sekolahnya. Selain Pramuka, ia juga aktif di organisasi rohani islam (rohis) yang sebenarnya lebih membuat dirinya nyaman ketimbang di ekskul yang lain.
            Masa-masa SMA-nya ia jalani dengan penuh hambatan dan tantangan. Terlebih karena asalnya yang dari kampung nun jauh di sana. Malah sempat ia terkena virus minder, kurang percaya diri, merasa dirinya tak sepintar teman-temannya dari kota. Tapi ternyata perasaannya itu mampu ia halau, dan malah dijadikan sebagai motivasi terbesar hidupnya. Ia mampu menonjol di antara teman-teman sekelasnya. Semester pertamanya di kelas sepuluh, ia mendapat peringkat ke dua, namun di semester keduanya ia mampu menjadi unggulan kelasnya.
            Tantangan yang paling berat ia rasa tatkala masuk di tingkat dua. Di kelas IPA nya yang baru, ia merasakan banyak pesaing yang lebih tangguh darinya. Dari empat semester yang ia jalani, tiga diantaranya ia tetap bertahan di peringkat dua, namun di akhir masa sekolahnya, akhirnya dia mampu menyaingi rival sekelasnya. Perjuangan yang sangat panjang baginya. Namun, perjuangan yang berujung bahagia, dan setimpal dengan pengorbanannya.
            “Sari, udah ada rencana kuliah ke mana nih?”, tanya Zain, soulmatenya selain Lati.
            “Belum tau nih Zain, pengennya sih ke UPI, tapi kalau gak salah gak ada beasiswa langsung dari awal kalau ke UPI. Kalau bukan beasiswa, takutnya orangtua aku gak menyanggupi biayanya. Kalau kamu senidri gimana?”
              “Aku sih pengennya jurusan HI di UI. Kan enak bisa jadi Dubes Indonesia keluar negeri, hehehe. Kalau enggak, aku mau ke STAN aja, katanya langsung kerja, dan biaya kuliahnya gratis. Kalau Lati gimana?”
            “Wah, aku bingung nih teman, belum ada rencana apa-pun, hehehe. Bukan karena apa-apa sih, tapi aku juga mikirin orangtua aku, aku punya tiga orang adik yang semuanya masih sekolah, aku bingung biayanya gimana.”
            Mendengar keluhan Lati barusan, ia pun juga jadi teringat adik-adiknya di rumah. Sama dengan Lati, ia juga mempunyai adik-adik yang masih sekolah. Ia bertanya dalam hatinya, apakah ia mampu kuliah ataukah tidak? Untuk semesteran sekolahnya saja ia sering menunggak, apalagi untuk kuliah, di luar kota lagi. Bagaimana dengan biaya tempat tinggalnya? Bagaimana dengan biaya hidupnya? Bagaimana dengan biaya akademiknya? Ia bimbang, antara mengejar cita-citanya dengan mengurangi beban orangtuanya. Kebimbangannya memuncak setelah ia gagal mendapatkan PMDK (Program Penelusuran Minat dan Kemampuan) ke UPI. Rasa-rasanya dia sudah mulai putus asa dan hanya berharap setidaknya dia mampu kuliah di kotanya saja.
            Keesokan harinya secara tidak disangka-sangka guru BK (bimbingan konseling) disekolahnya memanggil lima orang siswa-siswi berprestasi di kelasnya. Beliau menawarkan beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi yang cukup ternama di Jawa Barat, Universitas Padjadjaran (Unpad). Awalnya dia tidak berniat sedikit pun untuk ikut. Selain dia tidak tertarik ke universitas tersebut, dia pun merasa was-was, karena dari info-info yang dia dapat dari temannya, mahasiswa Unpad itu gaul-gaul, trendy, cantik-cantik, dan hal-hal modern lainnya. Karena ketidak percaya dirian itu serta rasa takut terbawa arus pergaulan bebas, ia sempat tak melirik Unpad. Namun karena keinginan kuliahnya yang kuat, ia pun tergerak untuk mengikutinya. Ia pun mulai mengumpulkan segala persyaratan yang dia butuhkan untuk beasiswa tersebut.
            “Bu ini berkas-berkas persyaratan beasiswa saya”
            “Eh Sari, simpan di sini aja Sar. Untung aja ngumpulnya hari ini, Sari pengumpul yang terakhir loh.”
            “Hehe, maaf ya bu, soalnya saya nunggu persyaratan yang dikirim orangtua saya di kampung, jadinya agak telat”
            Sehari dua hari, seminggu dua minggu, waktu terus berlalu, namun kabar kepastian beasiswa yang dia ikuti tak kunjung tiba. Hingga timbul kegelisahan yang memuncak pada diri Sari. Dia yang diam-diam masih mengharapkan dapat kuliah di UPI, merasa ciut hatinya setelah mendengar kabar saudaranya yang juga ikut mendaftar masuk ujian mandiri ke UPI tidak lulus. Hati dan semangatnya kian mengkerut setelah mendapat kabar teman-temanya pun banyak yang berguguran dalam perjuangan seleksi ke universitas yang mereka tuju. Sampai tibalah waktunya perpisahan di sekolahnya. Graduasi tersebut cukup membuatnya terharu. Ia sama sekali tak menyangka  bisa menjadi lulusan dari salah satu sekolah terbaik di kotanya. Pidato-pidato perpisahan dari perwakilan seangkatannya cukup membuatnya mengurai air mata. Begitu banyak kenangan yang ada. Susah, senang, sedih, bahagia, suka, duka, semuanya ia alami. Terutama kenangan bersama dua orang sahabatnya, Lati dan Zain. Ia berharap, setelah kelulusan ini mereka masih bisa sedekat masa SMA-nya dulu.
            “Sari! Ngelamun aja deh, Lati mana? Perasaan aku gak ngeliat Lati dari tadi..”
            “Iya Zain, aku juga gak ngeliat. Kita sibuk sama masing-masing kelas sih..”
            “Owh ya Sar, kamu udah liat hasil beasiswanya belum? Aku udah, dan gak lulus”, ujar Zain yang juga ikut seleksi beasiswa yang sama dengannya.
            “Belum Za, emangnya udah ada pengumumannya ya? Lihat di mana?”, tiba-tiba saja ia was-was, Zain aja yang tidak kalah pintar darinya tidak lulus, apa lagi dirinya.
            “Ada di web, coba kamu liat aja Sar, nanti kabar-kabari aku ya hasilnya!”
            Semenjak percakapannya itu hatinya tak pernah tenang. Setelah acara graduasinya selesai, ia tidak banyak membuang-bunang waktu. Sesampainya di rumah, ia hanya mengganti kebayanya dengan baju biasa dan langsung menuju warnet terdekat di rumah bibinya. Tak lama ia berada di warnet, setelah hasilnya ia ketahui, ia langsung pulang lagi.
            “Kok cepet Sar, udah ada pengumumannya?”
            “Udah Om, Alhamdulillah, jadinya gak harap-harap cemas lagi.”
            “Gimana teh hasilnya?”
            “Alhamdulillah, teteh lulus bi, jurusan Fisika”, dengan muka sumringah dia menceritakan segalanya.
            Hari itu merupakan hari paling bahagia dalam hidupnya. Sungguh Allah telah banyak memberikan kemudahan terhadap segala asanya. Memori-memorinya yang dulu kini berputar lagi diingatannya. Bagaimana perjuangannya dalam mempertahankan cita-citanya. Bagaimana komentar-komentar pedas dari orang-orang yang iri terhadapnya. Bagaimana keraguan yang timbul dari keluarga jauhnya. Hanya orangtuanya lah orang yang menjadi pemicu semangatnya. Orangtuanya yang mampu membuat dia bertahan dalam setiap hambatan, tantangan dan rintangan yang datang menghadang. Keinginan menyekolahkan kedua adik-adiknya pun menjadi kekuatan tersendiri baginya. Kini, masa depan di depan mata. Tak ada lagi fatamorgana, semuanya nyata baginya. 

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...