Pendidikan
kerap menjadi polemik di negeri katulistiwa ini. Betapa tidak, sudah hampir 68
tahun negeri ini ‘katanya’ merdeka. Namun, tak ada perubahan signifikan dalam
dunia penididikan kita. Setiap tahun ada saja kebijakan yang berubah. Bak
kelinci percobaan, para pelajar dicocoki dengan berbagai kebijakan yang kabur,
tak memiliki tujuan jelas. Misalnya saja kita tilik kurikulum pendidikan di
Indonesia yang sering berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan. Perjalanan
sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006,
2012 dan yang terbaru 2013. Tak heran jika mutu pendidikan Indonesia hingga
kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap.
Tak hanya itu, mahalnya biaya
pendidikan menjadi buah bibir tersendiri. Bahkan, akhir bulan Juni kemarin masa
terkagetkan dengan aksi seorang ayah yang rela menjual ginjalnya demi menebus
ijazah sang anak. Tragedi bundaran HI lebih tepatnya. Dan Masih banyak ribuan
bahkan jutaan kisah masyarakat kecil yang jatuh bangun hanya untuk dapat
mengnyam manisnya pendidikan. Sungguh ironis, di saat bangsa ini membulatkan
tekad untuk menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negara sesuai yang
termaktub dalam UUD pasal 31 ayat 1, tapi pemandangan ‘indah’ anak-anak putus
sekolah pun sering kita jumpai. Tak hanya di satu daerah tertentu saja, tapi
hampir di seluruh pelosok indonesia ada anak-anak yang putus sekolah.
Karut marut pendidikan di Indonesia
semakin keruh dengan adanya kebijakan baru mengenai sistem pembayaran perguruan
tinggi negeri di wilayah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Terhitung ada 92
PTN yang sampai saat ini telah menetapkan kebijakan uang kuliah tunggal (UKT).
Kebijakan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) ini
diberlakukan mulai tahun akademik 2013/2014 sebagaimana Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 55 Tahun 2013 tentang BKT dan UKT Pada
Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemendikbud, khususnya pasal 5.
BKT merupakan besaran yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan pendidikan untuk setiap mahasiswa per
semester. Setiap BKT memiliki besaran UKT yang berbeda, ini dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu indeks jenis program studi (K1), Indek mutu PT (K2) dan
Indek kemahalan wilayah PT (K3). Besarnya BKT ditentukan oleh perhitungan BKT =
C x K1 x K2 x K3, dimana C= Rp 5,08 JT = “ BIAYA KULIAH TUNGGAL BASIS” yang
dihitung dari data yang ada di PTN. Melihat hal tersebut maka, semakin tinggi
kualitas, akreditasi dan nama PT, semakin
tinggi pula BKT yang harus dikeluarkan.
Sementara UKT adalah besaran biaya
yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap semester dengan tanpa biaya
tambahan apapun selain yang telah ditentukan. Karena UKT itu merupakan selisih
antara BKT dengan BOPTN (Bantuan Operasioanal Perguruan Tinggi Negeri), maka
sudah barang tentu besanya UKT yang dikeluarkan siswa tiap PTN bahkan jurusan
akan berbeda-beda.
Sesuai pasal 2 dalam KemenDikBud Peraturan
RI Nomor 55 Tahun 2013, dikatakan bahwa uang kuliah tunggal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan
berdasarkan kelompok kemampuan ekonomi masyarakat. Jadi, di setiap jurusan pun
mahasiswa akan terbagi menjadi beberapa kasta sesuai dengan pendapatan kedua
orang tuanya. Alhasil, semakin terlihat jelaslah antara ‘si miskin’ dan ‘si
kaya’.
Memang, pro dan kontra menjadi suatu kealamiahan
yang terjadi ketika kebijakan baru dicetuskan. Namun, kita sebagai masyarakat yang
menjadi objek pelaksana kebijakan tersebut harus pandai menilai apakah
kebijakan tersebut pro terhadap rakyat atau malah menyengsarakan rakyat. Berikut
beberapa poin yang bisa kita kritisi dari kebijakan baru ini.
Pertama, kebijakan yang sama saja. Tercuat opini dari
segelintir masyarakat bahwa adanya kebijakan baru ini akibat adanya ketidakpercayaan
pemerintah kepada PTN yang bukan rahasia lagi kerap melakukan pungli semisal
biaya praktikum, pengesahan/legalisir ijazah, adanya ‘hantu’ jalur Mandiri atau
Jalur Non Subsidi bagi calon mahasiswa baru dan lain sebagainya. Namun jika
kita teliti lebih dalam, sistem pembayaran ini sebetulnya sama saja dengan
sistem sebelumnya. Jika pada jalur Swadana semua biaya disatukan di awal
perkuliahan, lain halnya dengan UKT, biaya tektek bengek itu dibagikan ke
delapan semester dengan asumsi itulah rata-rata jangka waktu masa perkuliahan
dari awal sampai lulus. Dengan kata lain Swadana sistem dimuka, UKT sistem
cicilan. Sama saja, tak ada beda.
Kedua, kebijakan yang tidak adil. Dengan adanya
pengelompokkan tingkat kemampuan orang tua mahasiswa, otomatis setiap mahasiswa
harus membayar sejumlah uang yang berbeda dengan fasilitas yang sama. Ini
sungguhlah tidak adil bagi ‘si kaya’. Mereka terus dibebankan membiayai
keperluan negara (biaya pendidikan) yang seharusnya ditanggung oleh negara.
Namun sungguh disayangkan, kebanyakan dari mereka tidak menyadari bahwa mereka
sedang dimanfaatkan oleh penguasa.
Ketiga, kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Meringankan
beban mahasiswa merupakan salah satu dasar pertimbangan kebijakan UKT. Demikian
ditegaskan pada poin pertimbangan (poin b) PermenDikBud tersebut. Namun
benarkah faktanya UKT ini meringankan mahasiswa atau malah membebani mahasiswa?
Dengan prinsip subsidi silang yang diberlakukan saat ini, nyatanya lebih
cenderung membebani mahasiswa dan malah semakin banyak keuntungan yang didapat
PTN dan negara. Misalnya saja untuk besar BKT jurusan fisika Unpad saat ini
adalah Rp 6,499 JT. Di asumsikan paling banyak mahasiswa adalah golongan III
(UKT = Rp 2,5 JT) dan IV (UKT = Rp 7 JT) maka besarnya biaya yang dikeluarkan
selama delapan semester untuk golongan III dan IV adalah Rp 20 JT dan Rp 56 JT
dari biaya normal Rp 51,992 JT (tanpa BOPTN). Jelas walaupun sudah dilakukan
subsidi silang, akan ada uang berlebih untuk PTN karena sesuai UU yang berlaku,
penerima golongan I (UKT = 0- Rp 500 ribu) hanya 5% saja, sisanya 95 % di
dominasi oleh kalangan menengah ke atas.
Keempat, semakin individualis. Dengan adanya slogan “harga
menentukan kualitas”, yakni semakin tinggi kualitas pendidikan, semakin mahal
biaya yang harus dikeluarkan, semakin mengukuhkan ke individualisan masyarakat
Indonesia. Pemahaman ini tertanam dalam di dalam benak masyarakat seolah-olah
menjadi suatu kewajaran ketika kondisi saat ini untuk mendapatkan sesuatu yang
ideal harus mengeluarkan biaya yang mahal. Mereka pada akhirnya hanya melihat
kemampuan diri sendiri tanpa memikirkan orang selain mereka yang bahkan untuk
sesuap nasi pun sangatlah sulit. Ini semakin melegalkan anekdot “orang miskin
dilarang pintar”.
Masih banyak kiranya hal-hal yang perlu kita kritisi
dari kebijakan UKT ini, di mulai dari sistem yang semakin rumit dari segi
administrasi sampai dari keterkaitannya dengan negara adidaya dalam sebuah
perjanjian negara anggota WTO tentang General Agreement on Trade in Services
(GATS). Namun terlepas dari itu, ada satu poin penting yang harus kita ketahui
bersama, yaitu sipakah biang kerok dari keterpurukkan wajah pendidikan di
negeri ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah akibat sistem kapitalisme yang
menjadikan semua aspek kehidupan sebagai
sumber keuntungan. Termasuk pendidikan yang kini telah dikomersialisasikan. Hal
ini terlihat dari status PTN yang dulu berstatus badan hukum milik negara
(BHMN), berubah menjadi BLU (Badan Layanan Umum) di mana tata kelola keuangan
separuh disetor ke pemerintah masuk kas negara dan separuh masuk ke kas
Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Tata kelola pendidikan tinggi yang baik,
yang selama ini kita nantikan tidak akan pernah terwujud selama komersialisasi
menjadi jiwa tata kelola. Hanya saja kebijakan tata kelola yang liberalistik
ini adalah niscaya dalam sistem politik demokrasi, yang menjadikan hawa nafsu
manusia sebagai sumber aturan.
Hal ini berbeda dengan sistem islam. Islam sangat
menekankan kewajiban bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, tua
maupun muda, untuk mencari ilmu. Maka, menjadi hal yang mutlak bagi negara
dengan sistem islam di dalamnya untuk memfasilitasi setiap kewajiban yang
dibebankan kepada muslim, termasuk pendidikan. Negara berkebijakan setiap
individu masyarakat dijamin aksesnya oleh Negara terhadap pelayanan pendidikan
gratis berkualitas, tanpa membayar sepserpun. Selain itu, strategi pelayanan
harus mengacu pada tiga aspek. Yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan
memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional.
Maka hanya dengan islamlah keidealan pendidikan itu akan di dapatkan, bukan
selainnya.