Download Materi Kajian Islami

Monday, 22 September 2014

Pernikahan Beda Agama: Pintu Awal Retaknya Rumah Tangga

Sumber: Google


Cinta adalah satu kata magic yang tak pernah bosan dibicarakan orang di setiap zaman. Cinta adalah sebuah kekuatan sempurna yang terkadang mampu mengubah orang menjadi bukan seperti dirinya sendiri. Dengan cinta, seorang yang tak puitis berubah menjadi romantis, seorang yang tangguh berubah menjadi melankolis, seorang yang penakut berubah menjadi penakluk dan begitupun sebaliknya.

Ketertarikan lebih terhadap lawan jenis memang naluriah. Setiap manusia dari bangsa manapun, ras apapun, agama apapun, pasti mengalami jatuh cinta. Kemudian mereka melangkah lebih jauh menuju pernikahan, karena pernikahan adalah simbol keterikatan cinta. Setelah pernikahan dilangsungkan, terbentuklah sebuah kehidupan baru dalam bingkai rumah tangga. Banyak asa telah digantungkan dalam sebuah rumah tangga. Pasangan suami istri bahagia yang saling mendukung untuk kehidupan dunia dan akhirat, mendidik anak-anak hingga menjadi shalil shalihah dan menjadi keluarga yang rukun dan langgeng sampai hari tua. Dalam islam kehidupan seperti itu dikenal dengan istilah sakinah, mawadah warrahmah. Ketika kondisi tersebut tercapai, maka tercapai pulalah tujuan dalam rumah tangga, yaitu menggenapkan separuh agama. Tidak hanya dalam islam, menjalani kehidupan rumah tangga yang langgeng dan rukun serta membesarkan anak yang taat pada agama merupakan cita-cita agama manapun.
Namun, bisakah cita-cita agung tersebut tercapai dalam pernikahan beda agama? Mungkin di awal-awal pernikahan gesekan tak jadi masalah. Setahun,  dua tahun, masih bisa dilewati. Namun, seiring berjalannya waktu, perbedaan akan semakin terasa. Apalagi jika pasangan beda agama tersebut salah satunya beragama islam. Lima waktu sehari seorang muslim harus menjalankan sholat. Sebulan dalam setahun seorang muslim harus menjalankan puasa. Dua kali dalam setahun seorang muslim melaksanakan hari raya. Jika keluarga lain khusyuk dalam ibadahnya masing-masing secara bersama-bersama, namun mereka yang menikah beda agama akan berjalan masing-masing. Sehingga kemungkinan yang terjadi adalah beralih agamanya salah satu dari mereka atau tetap menjalani perbedaan dengan segala konsekuensinya. 

Permasalahan utama mulai terjadi ketika mereka dikaruniai seorang keturunan. Sang anak dibebaskan untuk memilih apakah akan mengikuti agama ayahnya atau agama ibunya. Mungkin seolah tak menjadi masalah bagi orang tua, namun perasaan anak akan terancam olehnya. Anak akan merasa bingung untuk memilih, karena sejatinya keinginan dia adalah melihat kedua orang tuanya rukun tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari tapi pun dalam kehidupan agamanya. Anak akan takut memilih, karena dia tahu salah satu dari orang yang dia sayangi akan ada yang merasa kecewa. Keadaan tersebut terus berlangsung hingga anak ke dua, ke tiga dan seterusnya hingga terjadi dua kubu dalam beragama. Perbedaan keduanya semakin terasa menjadi-jadi. Retaknya rumah tangga kini di ambang pintu.

Sesungguhnya islam dengan jelas telah mengatakan bahwa haram hukumnya seorang muslim dam muslimah menikahi seorang musyrikin, yaitu penganut agama bumi. Namun seorang muslim boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan catatan wanita ahli kitab tersebut adalah benar-benar wanita yang bisa menjaga kehormatannya dan taat pada agamanya. Namun, wanita ahli kitab yang bisa menjaga kehormatannya dan taat pada agamanya sangatlah sulit ditemui di zaman modern ini. Terlebih banyak ‘revisi’ yang telah terjadi dalam kitab dua agama samawi tersebut. Sehingga sekalipun wanita ahli kitab itu taat pada agamanya, namun agama yang dianutnya tidak murni lagi.

Selain itu, pintu runtuhnya syari’at islam yang lain semakin terbuka lebar apabila pernikahan beda agama ini dilangsungkan. Di mata islam tidak syahnya pernikahan pada akhirnya menjadikan sepasang suami istri yang menikah beda agama akan berzinah sepanjang rumah tangganya. Anak yang dilahirkan dari hasil perzinahan tidak berhak mendapatkan nasab dari ayahnya, tidak berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya dan tidak berhak mendapat waris dari ayahnya. Jika kemudian sang anak nikah dan kemudian ayanya menjadi walinya maka pernikahannya tidak sah dan sepanjang rumah tangganya anak tersebut melakukan zinah dengan suaminya. Begitulah seterusnya.

Sungguh, seorang penemu lebih mengetahui apa-apa yang ditemukannya. Seorang perakit lebih mengetahui apa-apa yang dirakitnya. Seorang pencipta lebih mengetahui apa-apa yang diciptakannya. Begitupun Allah Yang Maha Pencipta, akan mengetahui apa-apa yang baik dan yang buruk terhadap apa-apa yang Dia ciptakan. Oleh karena itu, setiap kalam Allah dalam Al-Qur’an tentulah yang terbaik bagi setiap makhluknya termasuk manusia. Maka sudah semestinyalah kita taat dan patuh pada setiap firmannya dan melaksanakan setiap syari’atnya dalam skala individu, keluarga, masyarakat bahkan negara. Insya Allah, kehidupan bahagia dunia dan akhirat akan dirasa.
Wallahu’alam bi ashowab..[] 

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...