Sumber: Google |
Dalam
sepekan terakhir ini beredar pemberitaan mengenai video parodi siswa SD
bernyanyi dalam rangka mengkritik media pertelevisian Indonesia. Video pertama
dinyanyikan oleh anak-anak usia SD dan video yang ke dua dinyanyikan oleh
orang-orang dewasa yang berpura-pura sebagai anak SD.
Dalam
video yang pertama berjudul “TV, Jasamu Tiada..” lebih menekankan pada efek
pergaulan bebas yang dirasakan remaja bahkan anak-anak Indonesia karena TV. Lirik
yang dinyanyikan merukpakan pkesetan dari lagu “Jasamu Guru”. Adapun lirik
plesetan untuk video yang pertma ini adalah:
"Kita jadi bisa pacaran dan
ciuman, karna siapa?
Kita jadi tau masalah artis cerai, karena siapa?
Kita jadi tau masalah artis cerai, karena siapa?
Kita bisa dandan dibimbing TV
Kita jadi lebay dibimbing TV
Kita jadi lebay dibimbing TV
TV Pemerintah membuat gelap
gulita
Jasamu tiada...........!
Jasamu tiada...........!
Gimana mau maju, nontonnya
itu!"
Sedangkan
dalam video yang kedua dengan judul "PARODI! Sindiran Lebih Ancur Anak
SD - Jasamu Tiada Tara - Sindiran & Kritik Tayangan Televisi.", lebih menekankan kepada tayangan-tayangan
infotainmen yang merusak anak-anak. Berikut lirik lengkapnya:
Kita jadi gila, kayak Olga
Syahputra…karena siaaaapa..
Kita jadi tahu, Nassar dan
Muzdalifah… karena siaaaapa..
Kita jadi tahu Raffi dan Gigi..
Kita jadi lebay karena Syahrini..
Mending nonton Yucub, ada banyak
hiburannyaaa..
Tivi tak bergunaaaa….
Memang,
sejak tahun 2013 silam pertelevisian Indonesia banyak menuai kritikan pedas.
Bahkan di bulan-bulan terakhir ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga
harus turun tangan untuk membekukan penayangan sebuah sinetron yang sedang
digilai para remaja Indonesia karena memuat pornografi dalam cerita anak
sekolah. Tak hanya itu, kecaman keras pun datang pada sebuah stasiun TV swasta
yang telah dengan sengaja menyiarkan pernikahan artis tanah air bahkan hampir
seharian non stop. Kasus yang serupa
tidak hanya sekali saja, sebuah stasuin TV bahkan pernah menyiarkan prosesi
pertunangan serang artis seksi yang sekarang berujung pada ketidak langgengan.
Seolah tidak kapok, bahkan ada juga stasuin TV yang berencana akan menayangkan
prosesi kelahiran sepasang artis papan atas Indonesia.
Selayaknya
sebuah media, baik elektronik maupun cetak menjadi sebuah media pembelajaran.
Tapi pada faktanya kini, media hanya dijadikan alat bagi kaum kapitalis untuk
meraup banyak keuntungan. Bagaimana tidak, harga satu episode sinetron yang
memiliki reting tinggi saja –tidak peduli
mutunya serendah apapun- bisa dihargai sebesar Rp 300 juta bahkan lebih.
Sedangkan kita sama-sama tahu watak sinetron Indonesia yang seolah-olah latah,
ikut-ikutan pasar. Ketika marak sinetron bertemakan hewan, maka hampir di
setiap channel akan memiliki sinetron
unggulan bertemakan hewan, mulai dari Srigala, Monyet bahkan Harimau. Tidak
hanya itu, sangat jarang sebuah rumah produksi membuat sinetron yang berepisode
sedikit, jumlahnya sangat banyak bahkan mencapai ratusan. Tidak heran jika mutu
menjadi urutan yang terakhir dalam pembuatan sebuah draft cerita, yang utama
adalah minat pasar dan keuntungan menaikan rating.
Pihak
stasiun TV tak kalah menguntungkan dibandingkan rumah produksi. Jika sebuah
sinetron berating tinggi ditayangkan di prime
time, maka harga iklan per 30 detik bisa mencapai Rp 20 hingga Rp 60 juta.
Padahal jatah iklan per satu episode bisa mencapai 20 menit. Maka dari iklan
stasiun TV bisa meraup keuntungan hingga Rp 800 juta. Inilah mengapa stasiun TV
tidak terlalu mementingkan dan memerdulikan kualitas dan isi apa yang
ditayangkannya.
Sementara
itu, pemerintah tak berdaya. Menteri Komunikasi dan Informasi periode
pemerintahan SBY, Tifatul Sembiring, mengaku pemerintah tak memiliki kewenangan
untuk menghentikan tayangan di TV karena terhalang UU No. 32 tahun 2002 tentang
penyiaran, mengubah kewenangan mengntrol konten siaran TV dan radio ke KPI.
Sedangkan KPI sendiri menyatakan bahwa kewenangan yang ada padanya pun
dikebiri. KPI tidak bisa mencabut izin siaran stasiun TV yang melanggar aturan
karena keberadaan isin itu justru ada di pemerintah. Walhasil KPI hanya mampu
menegur, mulai dari teguran satu hingga tiga, baru masuk kepencabutan izin
penyiaran. Itu pun memerlukan waktu yang cukup lama.
Inilah
yang terjadi jika sebuah negara menggunakan sistem yang berbasis pada
keuntungan semata. Akhlak dan moral penerus bangsa tidak dihiraukan jika
keuntungan yang didapatkan lebih menggiurkan. Anak cucu mati kelaparan,
masyarakat miskin ditelantarkan tidak menjadi persoalan ketika keuntungan
datang di depan mata. Berbeda dengan negara berlandaskan islam, sudah pasti
akan ada aturan dalam setiap penyiaran. Sebuah stasiun TV akan dikontrol penuh
oleh pemerintah karena menyangkut informsi yang tersiar keseluruh masyarakat
negara bahkan dunia. Kebijakan pertelevisian dirancang untuk mewujudkan
pembangunan masyarakat islam yang kokoh dan kuat, melenyapkan unsur-unsur yang
bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat islam, serta menonjolkan kebaikan dan
keluhuran islam.
Program
TV akan dilarang menayangkan hal-hal yang diharamkan oleh islam, seperti
infotainmen ghibah, pemujaan terhadap materi, penonjolan hal-hal yang berbau
seksualitas, tabarruj, serta siaran-siaran yang merendahkan akhlak manusia, dan
lain sebagainya. Siapa saja yang membuat program-program siaran yang bertentangan
dengan syariat dan akhlak islam akan dikenai sanksi yang tegas. Program-program
siaran yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan akidah dan syariah
akan dibekukan dan dilarang seketika, tanpa menunggu-nunggu waktu lama.
Itulah
segelintir kebijakan negara berasaskan islam dalam mengatur pertelivisian.
Dengan kebijakan yang demikian, TV akan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk
mendidik masyarakat dan menyebarkan dakwah islam hingga ke penjuru dunia. Tidak
seperti saat ini, peran TV sebagai media informasi dan pendidikan telah hilang.
Semuanya terjadi karena negeri ini berasaskan kapitalisme yang berorientasi
keuntungan semata, kualitas diakhirkan rating diutamakan. Oleh karena itu,
sebagai manusia yang diberikan akal untuk berpikir, sudah selayaknya kita mampu
memilih sistem mana yang mampu memberikan kesejahteraan dan keberkahan bagi
umat, terutama bagi anak-anak penerus kita. Semuanya tergantung kita.
Wallohu’alam bi ashowab[]
Tulisan ini telah dimuat di SosialNews.com
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.