Siapa
yang tidak mengenal Albert Einstein, dia adalah fisikawan Jerman yang
disebut-sebut memiliki IQ lebih dari 160. Tidak mau kalah dengan Jerman,
Indonesia pun memiliki B.J. Habiebie, yang memiliki IQ yang tergolong jenius.
Tidak heran banyak orang tua yang menginginkan keturunannya ber-IQ tinggi
seperti beliau. Demi mencapai impiannya itu, orang tua merelakan apa pun yang
ia miliki untuk menyekolahkan anaknya.
Namun,
dewasa ini orang semakin dibuat bingung. Banyak orang yang katanya ‘pintar’
tapi ternyata menggunakan kecerdasannya untuk menipu orang, korupsi, membobol
bank, dan banyak lagi. Ditambah lagi, banyak contoh kehidupan sukses
orang-orang terkenal tanpa mengenyam atau menyelesaikan bangku sekolah. Sebut
saja Steve Jobs dan Bill Gates, keduanya memilih untuk keluar dan dikeluarkan
dari Harvard University dan sekarang menjadi orang terkaya di dunia.
Lantas
apa yang harus orang tua lakukan? Disekolahkan tapi menjadi pengkhianat rakyat,
atau tidak disekolahkan tapi jadi jutawan? Tidak ada pilihan yang benar, yang
benar adalah bagaimana caranya agar seorang anak bisa sekolah tinggi, tapi
setelah selesai sekolah dia mampu berguna dan bermanfaat bagi semua orang.
Kunci semua itu adalah dengan mensinergikan antara IQ, EQ dan SQ.
Kecerdasan
intelektual (IQ) adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia
merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi
fakta. [1] Misalnya kemampuan seseorang dalam memenangkan kejuaraan
olimpiade Fisika internasional ataupun kejuaraan memanah internasional, maka
itu merupakan manifestasi dari IQ seseorang. Kecerdasan emosional (EQ)
merupakan serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, serta
mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama,
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.[2] Contoh kasus ketika seseorang
mampu melawan rasa marah dalam dirinya. Sedangkan Spiritual Quotient (SQ)
adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. [2] SQ berhubungan dengan
keagamaan seseorang dan bagaimana dia memaknai hidup. Maka dengan SQ kaum
cerdas tidak akan memanfaatkan kecerdasannya untuk kepentingan pribadi yang
cenderung merugikan orang.
Tentu perlu
peran dan kerjasama yang baik antara pendidikan di sekolah dengan pendidikan
orang tua di rumah, bahkan pun dengan pendidikan masyarakat di lingkungan
tempatnya bernaung. Namun, sekolah dalam hal ini memiliki peranan teramat banyak
dalam membentuk IQ, EQ dan SQ seorang anak, karena hampir separuh waktu efektif
yang mereka miliki dilakukan di sekolah. Maka, perlu adanya perbaikan kurikulum
pendidikan di Indonesia yang sejak dulu hanya mengandalkan IQ semata. Sudah
selayaknya kini mempertimbangkan EQ dan SQ dengan proforsi yang tepat,
seimbang, tidak timpang.
Hubungan
ketiganya (IQ, EQ, SQ) dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi .
Namun kalau akan dibedakan , maka SQ merupakan "Prima Causa " dari
IQ dan EQ. SQ mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khalik , sementara
IQ dan EQ mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan alam di sekitarnya.
Tanpa ketiganya bekerja proporsional, maka manusia tidak akan dapat menggapai
statusnya sebagai "Khalifah" di muka bumi.[3]
[1] A. Winarno dan Tri Saksono, Kecerdasan
Emosional, Jakarta, LAN, 2001, hal. 4.
[2] Ifa Hanifah Misbach, Antara IQ, EQ, dan SQ, Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung, 2008, hal. 4.
[3] Hj. Husnaini A. Keseimbangan IQ,
EQ, dan SQ dalam Persfektif Islam.
Essai ini telah diikutsertakan dalam selesksi beasiswa Data Print
Menurut teori Howard Gardner, kecerdasan seseorang dikelompokkan menjadi delapan buah. SQ dan EQ kalau dilihat dari tujuan dikonsepkannya, masuk ke dalam kategori kecerdasan interpersonal dan intrapersonal seseorang.. tidak ada tes psikologi untuk mengukur SQ dan EQ, walaupun banyak keberatan tentang tes IQ.. konsep SQ dan EQ muncul karena kecemburuan terhadap orang-orang yang ber-IQ tinggi, sekali lagi, validasi tes IQ pun masih diragukan. Jadi, tidak perlulah memikirkan berapa besar IQ kita, SQ atau EQ (Einstein dan Habibie pun sepertinya tidak pernah memikirkan/sadar tentang IQ-nya; Imam Al-Bukhari pun bahkan tidak tahu konsep SQ dan EQ yang dibuat manusia zaman sekarang ini), yang terpenting adalah bagaimana agar kita terus memperkuat keimanan-ketakwaan, terus memperbaiki diri, terus belajar dan terus berusaha tanpa mementingkan IQ, SQ dan/atau EQ.. Wallahu A'lam..
ReplyDelete