Menjadi ritual rutin,
menjelang pergantian tahun setiap orang termasuk rakyat Indonesia bersuka cita.
Tidak jarang, setiap stasiun televisi bahkan setiap pemerintah di tiap
tingkatnya mengadakan perayaan pergantian tahun tersebut. Mulai dari perayaan
biasa sampai dengan luar biasa dengan merogoh kocek yang juga luar biasa. Semua
orang bertumpah ruah, meniupkan terompet, meledakkan kembang api,
berjingkrak-jingkrak, berdesak-desakkan dan menanti sampai hitung mundur pun
dimulai. Tak sedikit dari mereka merelakan waktu tidurnya dan diganti dengan
perayaan tahunan ini. Semua dilakukan dengan satu tujuan, berharap tahun yang
baru menjadi tahun yang lebih baik daripada tahun-tahun yang telah dilalui
sebelumnya. Harapan ini ditujukan bagi kehidupan individu dan bahkan bagi
kehidupan bernegara.
Harapan lebih baik
selalu diungkapkan di setiap pergantian tahunnya. Dulu ketika awal tahun 2015
pun rakyat berharap akan lebih baik dari tahun 2014. Tentu ketika kita berharap
“lebih baik” maka perlu ada sesuatu yang dibandingkan. Perlu ada ukuran yang pasti kita bisa
mengatakan apakah tahun 2015 yang telah kita lewati lebih baik dari[ada tahun
2014 lalu?
Di bidang ekonomi,
Indonesia masih berada di ketiak Amerika sebagai pembuat kebijakan dunia.
Adanya perjanjian-perjanjian Internasional di bidang ekonomi khususnya seperti
Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), serta rencana terbaru pemerintah yang hendak
menjadi anggota perjanjian ekonomi ASIA-PASIFIC menjadi bukti lemahnya ekonomi
Indonesia di mata dunia. Indonesia tidak mampu menjadi Negara yang mandiri
seperti yang pemerintah janjikan, yang ada Indonesia masih terus membebek
terhadap Negara Adidaya Amerika. Contoh kasus dalam pengelolaan SDA. PT
Freeport yang di tahun 2021 akan habis masa kontraknya sudah mulai terlihat
sinyal perpanjangan kontrak bahkan sampai 40 tahun lamanya. Lobi yang dilakukan
elit kapitalis PT Freeport bahkan bisa sampai menembus pihak eksekutif,legislative
dan yudikatif Indonesia. Hal ini terlihat dari kasus “papa minta saham” yang
masih hangat hingga sekarang.
Di bidang sosial
keagamaan bisa kita lihat dari fenomena pengosongan kolom agama di KTP,
maraknya beberapa aliran kepercayaan yang diperjuangkan oleh beberapa kelompok
sebagai agama sah yang diakui, tuntutan legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Bisex, dan Transgender) di Indonesia, getolnya
kajian-kajian keislaman tentang fiqih gender di berbagai LSM, Ormas Islam dan
pusat studi gender di beberapa perguruan tinggi, masuknya kurikulum sex
education ke dalam sistem pendidikan dasar dan menengah, proteksi terhadap
ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai biang radikalisme terorisme, realitas
separatisme yang berpotensi disintegrasi diperlakukan berbeda dengan fakta
terduga terorisme, adalah secuil contoh dari realitas kehidupan sosial
keagamaan yang semakin liberal.
Di bidang politik dan
media terlihat masih kentalnya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha bahkan
sudah mewujud satu menjadi penguasa yang pengusaha atau pengusaha yang penguasa
sangat mewarnai panggung politik di Indonesia. Tingginya biaya penyelenggaraan
Pilkada Serentak tidak seperti yang direncanakan semula, praktik money politic,
kampanye hitam, penggelembungan suara pada proses penetapan DPT maupun pada
rekapitulasi suara akhir, mahar politik parpol, biaya kampanye paslon, biaya
riset elektabilitas paslon, adalah beberapa indikator dari praktek politik
demokrasi. Maka wajar terjadi simbiosis mutualisme antara penguasa dan
pengusaha. Penguasa butuh pengusaha sebagai pemodal awal, dan pengusaha butuh
penguasa untuk memberikan tender-tender berduit dari pemerintahan. Media pun
terlihat tidak objektif. Kepada siapa owner berpihak, maka isu yang difokuskan
dalam medianya pun akan berpihak padanya. Program siaran media digerakkan
sesuai dengan arah opini yang dikehendaki berbasiskan kepentingan politik
tertentu.
Di bidang pendidikan,
jelas terlihat dari kegagalan kurikulum yang dibuat pemerintah sehingga
menimbulkan banyak kebingungan di semua kalangan. Hal ini pun menyebabkan
perpecahan dan ketidak kompakkan antar sekolah di nusantara, apakah akan
menggunakan kurikulum KTSP ataukah kurikulum tiga belas. Selain itu, angka
bunuh diri yang selalu ada menjelang atau selesai Ujian Nasional dilaksanakan,
serta tindak kekerasan seksual dan fisik yang kian melambung di sekolah bahkan
sekolah bertarap Internasional menunjukkan kualitas dari pendidikan Indonesia.
Nyatalah bahwa tidak
ada perubahan yang lebih baik dari Indonesia secara umum di sepanjang tahun
2015. Yang semakin nyata terlihat hanyalah Neoimperialisme dan Neoliberalisme
yang semakin kuat mengakar di Indonesia. Semua ini terjadi karena Indonesia
tidak menggunakan sistem bernegara yang benar. Sistem demokrasi kapitalis
justru dengan nyata membuat Indonesia semakin jatuh dalam jurang keterpurukan.
Sampai kapan kah kita terus begini? Berharap pada sistem bobrok yang
membobrokkan orang-orang yang ikut aktif di dalamnya. Bahkan ulama sekali pun
tidak mampu bertahan dari kerusakan demokrasi. Sudah saartnya kita berpikir
mendalam dan mengganti secara total sistem Negara kita dengan sistem yang lebih
baik. Sistem buatan Tuhan Pencipta Alam, Allah SWT, yaitu sistem syari’at
islam.
Wallohu’alam
bi ashowab[]
Tresna Mustikasari
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.