Download Materi Kajian Islami

Friday, 15 September 2023

Kebijakan Plin Plan Ekspor CPO, Petani Tetap Merugi

 


Drama minyak goreng seakan tak pernah usai. Setelah sebelumnya pemeritah menetapkan larangan mengekspor bahan baku minyak goreng sawit atau Crude Palm Oil (CPO), tapi kini keran ekspor tersebut dibuka kembali. Padahal belum genap sebulan sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) megumumkan kebijakan penutupan keran ekspor, yakni terhitung mulai tanggal 28 April 2022 dan dibuka kembali mulai 19 Mei 2020.

            Tampak permukaan memang kita melihat seolah kebijakan tersebut demi kepentingan rakyat. Pasalnya, penetapan ditutupnya keran ekspor CPO bulan lalu itu digadang-gadang dengan maksud untuk memenuhi ketersediaan di dalam negeri terpenuhi dahulu dengan harga yang terjangkau. Bahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartato memiliki target hingga Rp 14.000 per liter tercapai, baru keran ekspor dibuka kembali. (CNBC Indonesia, 19/05/22)

Petani Tuai Kerugian Berkali-Kali

            Saat penutupan ekspor CPO bulan lalu, jelas pihak yang paling dirugikan adalah para petani. Menurut Syahril, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatra Barat, eksportir akan membeli Tanda Buah Segar (TBS) di tingkat petani dengan harga yang sangat murah jika hasil panen sawit di Indonesia ini sifatnya kebutuhan domestik saja. (Muslimah News, 29/5/20). Bahkan, menurut Ekonom FAKKTA Muhammad Hatta, S.E., M.M, kebijakan penghentian ekspor kemarin menyebabkan ‘tsunami’ CPO di dalam negeri karena konsumsi hanya sekitar 15 juta ton sedangkan produksi mencapai 45 juta ton, sehingga petani pasti paling banyak merugi. (Muslimah News, 13/5/20).

            Disisi lain, kebijakan penutupan ekspor CPO lalu ternyata bisa saja dimanfaatkan oleh para eksportir. Menurut Syahril, justru Ketika harga TBS murah, pihak perusahaan penampung CPO akan menyetok sebanyak-banyaknya bahan baku, sehingga saat ekspor kembali dibuka keuntungan yang mereka peroleh jauh berkali-kali lipat.

            Kini, keran ekspor dibuka lagi. Bak angin segar, petani tentu berharap harga TBS berada minimal di harga yang telah ditetapkan  dinas perkebunan wilayah masing-masing. Namun jauh dari harapan, harga TPS justru jauh dari harga yang telah ditetapkan oleh dinas perkebunan setempat. Meski memang mengalami kenaikan dibandingkan periode penutupan keran ekspor lalu, tapi kenaikan tersebut sangat tipis.

Gulat Manurung, Ketua DPP Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), per hari Selasa, 24 Mei 2022, rata-rata harga TBS dari Harga Pokok Penjualan (HPP) yang hanya Rp1.950 per kg naik menjadi Rp1.964 per kg di tingkat petani swadaya atau mandiri. Sedangkan di tingkat petani plasma atau bermitra mencapai Rp2.343 per kg. Keduanya memang sudah naik tipis. Namun masih jauh di bawah rerata ditetapkan oleh dinas perkebunan sebesar Rp2.930 per kg. (Tirto, 26/5/20)

Perbedaan realita dengan ekspektasi petani tersebut disebabkan karena para eksportir belum ingin terburu-buru melakukan ekspor CPO kembali. Hal ini karena birokrasi yang cukup rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengurus keperluan eksportir. Butuh waktu untuk mendapatkan perizinan ekspor dan beberapa dokumen persyaratan lainnya.

Kapitalisme Dibalik Penderitaan Rakyat

            Sudah bukan rahasia, meskipun banyak pihak mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, namun fakta dilapangan terlihat sesungguhnya sistem ekonomi kapitalisme lah yang bercokol. Sistem kapitalisme memberikan kebebasan kepada swasta untuk berekonomi, sedangkan pemerintah hanya sekedar regulator saja. Ditambah lagi fenomena pengusaha menjadi penguasa menjadikan sistem kapitalisme memiliki banyak celah kaum kapitalis memperkaya diri mereka.

Pada kasus melonjaknya harga minyak goreng misalnya, ternyata dibaliknya banyak pemain-pemain kartel dan mafia minyak goreng yang sampai saat ini tidak bisa diusut tuntas oleh pemerintah. Seakan lepas tangan, pihak pemerintah terlihat tak berdaya di hadapan para mafia tersebut. Padahal seharusnya pemerintah punya kuasa dan wajib memberikan kebijakan untuk mengatur setiap roda perekonomian negeri yang berpihak pada rakyat, bukan malah berpihak pada kapital. Dalam kasus kebijakan ekspor CPO pun jelas kita melihat, lagi-lagi yang diuntungkan adalah pihak kapital, sedangkan para petani selalu tak berdaya.

Begitulah wajah asli kapitalisme, capital is me. Maka tidak heran rakyat melulu menjadi korban. Janji keran ekspor dibuka jika harga minyak goreng dipasaran mencapai Rp 14.000 per liter, faktanya pemerintah hanya mampu mematok harga minimum Rp 15.500 per liter. Itu pun masih belum terealisasi, karena di lapangan pedagang kecil mengalami kerugian dan akhirnya tetap menjual di kisaran harga Rp 18.000 per liter.

Selama sistem kapitalisme bercokol dalam negeri ini, maka selama itu pula penderitaan rakyat di seluruh lini tetap ada. Maka, solusi fundamental dari problem negeri ini adalah terletak pada perubahan sistemnya. Dan satu-satunya sistem yang akan memberikan kebaikan pada seluruh pihak, tidak lain dan tidak bukan adalah sistem yang dibuat oleh Tuhan Pencipta Alam, yaitu Allah subhanahuwata’ala. Wallohu’alam bishowab[]


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...