Drama
minyak goreng seakan tak pernah usai. Setelah sebelumnya pemeritah menetapkan
larangan mengekspor bahan baku minyak goreng sawit atau Crude Palm Oil
(CPO), tapi kini keran ekspor tersebut dibuka kembali. Padahal belum genap
sebulan sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) megumumkan kebijakan penutupan
keran ekspor, yakni terhitung mulai tanggal 28 April 2022 dan dibuka kembali
mulai 19 Mei 2020.
Tampak permukaan memang kita melihat seolah kebijakan tersebut demi kepentingan rakyat. Pasalnya, penetapan ditutupnya keran ekspor CPO bulan lalu itu digadang-gadang dengan maksud untuk memenuhi ketersediaan di dalam negeri terpenuhi dahulu dengan harga yang terjangkau. Bahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartato memiliki target hingga Rp 14.000 per liter tercapai, baru keran ekspor dibuka kembali. (CNBC Indonesia, 19/05/22)
Petani
Tuai Kerugian Berkali-Kali
Saat penutupan ekspor CPO bulan
lalu, jelas pihak yang paling dirugikan adalah para petani. Menurut Syahril, Ketua
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatra Barat, eksportir
akan membeli Tanda Buah Segar (TBS) di tingkat petani dengan harga yang sangat
murah jika hasil panen sawit di Indonesia ini sifatnya kebutuhan domestik saja.
(Muslimah News, 29/5/20). Bahkan, menurut Ekonom FAKKTA Muhammad
Hatta, S.E., M.M, kebijakan penghentian ekspor kemarin menyebabkan ‘tsunami’
CPO di dalam negeri karena konsumsi hanya sekitar 15 juta ton sedangkan
produksi mencapai 45 juta ton, sehingga petani pasti paling banyak merugi. (Muslimah
News, 13/5/20).
Disisi lain, kebijakan penutupan
ekspor CPO lalu ternyata bisa saja dimanfaatkan oleh para eksportir. Menurut
Syahril, justru Ketika harga TBS murah, pihak perusahaan penampung CPO akan
menyetok sebanyak-banyaknya bahan baku, sehingga saat ekspor kembali dibuka
keuntungan yang mereka peroleh jauh berkali-kali lipat.
Kini, keran ekspor dibuka lagi. Bak
angin segar, petani tentu berharap harga TBS berada minimal di harga yang telah
ditetapkan dinas perkebunan wilayah
masing-masing. Namun jauh dari harapan, harga TPS justru jauh dari harga yang
telah ditetapkan oleh dinas perkebunan setempat. Meski memang mengalami
kenaikan dibandingkan periode penutupan keran ekspor lalu, tapi kenaikan
tersebut sangat tipis.
Gulat
Manurung, Ketua DPP Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), per hari Selasa,
24 Mei 2022, rata-rata harga TBS dari Harga Pokok Penjualan (HPP) yang hanya
Rp1.950 per kg naik menjadi Rp1.964 per kg di tingkat petani swadaya atau
mandiri. Sedangkan di tingkat petani plasma atau bermitra mencapai Rp2.343 per
kg. Keduanya memang sudah naik tipis. Namun masih jauh di bawah rerata
ditetapkan oleh dinas perkebunan sebesar Rp2.930 per kg. (Tirto, 26/5/20)
Perbedaan
realita dengan ekspektasi petani tersebut disebabkan karena para eksportir
belum ingin terburu-buru melakukan ekspor CPO kembali. Hal ini karena birokrasi
yang cukup rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengurus keperluan
eksportir. Butuh waktu untuk mendapatkan perizinan ekspor dan beberapa dokumen
persyaratan lainnya.
Kapitalisme
Dibalik Penderitaan Rakyat
Sudah bukan rahasia, meskipun banyak
pihak mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, namun fakta
dilapangan terlihat sesungguhnya sistem ekonomi kapitalisme lah yang bercokol.
Sistem kapitalisme memberikan kebebasan kepada swasta untuk berekonomi,
sedangkan pemerintah hanya sekedar regulator saja. Ditambah lagi fenomena
pengusaha menjadi penguasa menjadikan sistem kapitalisme memiliki banyak celah
kaum kapitalis memperkaya diri mereka.
Pada
kasus melonjaknya harga minyak goreng misalnya, ternyata dibaliknya banyak
pemain-pemain kartel dan mafia minyak goreng yang sampai saat ini tidak bisa
diusut tuntas oleh pemerintah. Seakan lepas tangan, pihak pemerintah terlihat
tak berdaya di hadapan para mafia tersebut. Padahal seharusnya pemerintah punya
kuasa dan wajib memberikan kebijakan untuk mengatur setiap roda perekonomian
negeri yang berpihak pada rakyat, bukan malah berpihak pada kapital. Dalam
kasus kebijakan ekspor CPO pun jelas kita melihat, lagi-lagi yang diuntungkan
adalah pihak kapital, sedangkan para petani selalu tak berdaya.
Begitulah
wajah asli kapitalisme, capital is me. Maka tidak heran rakyat melulu
menjadi korban. Janji keran ekspor dibuka jika harga minyak goreng dipasaran
mencapai Rp 14.000 per liter, faktanya pemerintah hanya mampu mematok harga
minimum Rp 15.500 per liter. Itu pun masih belum terealisasi, karena di
lapangan pedagang kecil mengalami kerugian dan akhirnya tetap menjual di
kisaran harga Rp 18.000 per liter.
Selama
sistem kapitalisme bercokol dalam negeri ini, maka selama itu pula penderitaan
rakyat di seluruh lini tetap ada. Maka, solusi fundamental dari problem negeri
ini adalah terletak pada perubahan sistemnya. Dan satu-satunya sistem yang akan
memberikan kebaikan pada seluruh pihak, tidak lain dan tidak bukan adalah
sistem yang dibuat oleh Tuhan Pencipta Alam, yaitu Allah subhanahuwata’ala.
Wallohu’alam bishowab[]
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.