Seminggu
lebih Ramadhan tahun ini telah berlalu. Suasana ruhiyah yang tinggi selalu
terasa menyelimuti umat dalam mengisi kesehariannya, mulai dari tilawah hingga
tarawih. Begitulah, karena Ramadhan adalah bulan yang mulia yang di dalamnya penuh
keutamaan. Dimana pintu surga dengan lebar dibuka dan pintu neraka ditutup
rapat. Berbuat seribu kali kebaikan diganjar sebanyak 10 kali hingga 700 kali
lipat. Bahkan, khusus untuk pahala berpuasa, hak Allah sendiri dalam menentukan
kadar pahalanya hingga tak terbatas. Terlebih lagi, di sepuluh hari terakhir
Ramadhan, terdapat malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari
seribu bulan. Maka bukan hal yang aneh mengapa kaum muslim begitu euporia,
bahagia dan antusias menjalani ibadah puasa ini.
Namun, pada suasana semangat ruhiyah tersebut, masih ada saja polemik di tengah masyarakat yang bisa mengurangi kekhusyuan ibadah di bulan Ramadhan dan bahkan terkadang berujung melukai kesucian bulan Ramadhan itu sendiri. Ya, polemik dibolehkan atau tidaknya warung-warung makan berjualan selama bulan Ramadhan (sepanjang hari, bukan hanya sore menjelang malam) masih menjadi perdebatan yang ramai diperbincangkan setiap tahunnya. Bahkan isu orang berpuasa harus menghargai orang yang tidak berpuasa menjadi luka lama tersendiri yang semakin kuat digaungkan kaum liberal. Terlebih isu moderasi agama semakin hari kian menguat di berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tentu
saja, kebijakan pro kaum liberal saat ini semakin terbuka lebar. Jika kita
amati perkembangan kebijakan terkait hal ini dari tahun ke tahun bisa kita
lihat bahwa kebijakan yang tejadi semakin memberikan angin segar bagi kaum
liberal. Mulanya pemerintah melarang warung buka di siang hari, kegiatan sweeping
menjadi agenda tahunan yang selalu dilakukan. Lalu kemudian warung mulai
diizinkan berbuka dengan syarat wajib memakain tirai penutup. Terakhir kondisi
hari ini, berdasarkan pernyataan Ketua MUI Cholil Nafis, warung makan tidak
perlu tutup pada siang hari selama bulan Ramadan. Mereka tetap diizinkan
beroperasi melayani pembeli. Cholil meminta agar umat Islam saling menghargai,
termasuk kepada para pedagang yang tetap berjualan saat bulan Ramadan. Senada
dengan Ketua MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir
mengatakan, bulan Ramadhan bukan menjadi alasan bagi warung makan untuk menutup
layanan. Selain itu, sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Amirsyah Tambunan meminta
tidak ada pihak yang melakukan razia atau sweeping di tempat makan
selama Bulan Ramadan.
Melihat
perkembangan kebijakan tersebut, agaknya penguasa lupa tentang salah satu
tugasnya untuk menjadikan masyarakat menjadi warga yang beriman dan bertakwa.
Ditinjau dari sisi ilmu fiqih, memang benar kebolehan warung makan buka di
siang hari itu bisa menimbulkan banyak pendapat. Bisa jadi boleh, atau bisa
jadi tidak, tergantung dalil-dalil syara; yang menjadi sandaran keputusannya.
Namun, ditinjau dari sisi negara dan khususnya juga ulama sebagai pemimpin atau
ra’in, maka wajib hukumnya untuk memastikan semua yang wajib berpuasa agar
tidak meningalkan kewajibannya. Maka selayaknya negara membuat support
system yang bisa merealisasikan hal tersebut. Misalnya bagaimana negara
seharusnya turun tangan langsung dalam kegiatan kerohanian untuk mengoptimalkan
ibadah masyarakatnya, bukan hanya sekedar menyerahkan tugas-tugas keagamaan kepada
tiap-tiap pengurus masjid. Seperti di era kekhilafahan Islam dulu, seorang khalifah
senantiasa menjadi imam tarawih di ibu Kota. Umar bin Khatab selalu menerangi
masjid-masjid agar para sahabat menghidupkan malam-malam Ramadhannya dengan
tilawah, dan lain sebagainya.
Semoga
kehadiran penguasa dan ulama yang ikhlas ingin mewujudkan negara yang baldatun
thoyibatun wa robbun ghofur segera terwujud. Khususnya di negeri Indonesia
ini. Negara dengan umat muslim terbesar di dunia, yang seharusnya bisa menjadi
contoh bagaimana Islam itu teraplikasi dalam setiap sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Bukan malah sibuk dengan opini-opini menyesatkan
kaum liberal yang menjauhkan umat dari agamanya. Dengan begitu, Islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin akan terwujud dan dirasakan setiap makhluk di muka bumi ini. Wallohu’alam
bi showab[]
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.