Download Materi Kajian Islami

Sunday 16 February 2014

Sakit Menahan Tangis

 

“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).

Beberapa hari menjadi pengunjung setia rumah sakit memberi banyak pelajaran bagi saya. Hari pertama, IGD (instalasi gawat darurat) menjadi tujuanku. Pasien begitu sesak. Hilir mudik pergi dan datang. Ada yang pergi karena tak perlu dirawat, ada yang pindah ke ruang perawatan, dan ada yang pergi untuk selama-lamanya. Saat itu, semua petugas kesehatan sangatlah sibuk. Hingga seorang pasien pun tiba, ntah apa yang ia rasa. Namun, ketika dokter hendak memeriksa, sesaat itu pula nyawanya tiada. Sontak sang anak yang mengiringi sang ayah di belakang berteriak histeris. Semua mata orang di ruangan itu tertuju padanya. Semua orang kini berduka. Begitupun saya, tak sadar setitik air mata mulai meleleh dari sudut mata. Tak lama, sesuatu yang tertahan hinggap di tenggorokan. Sakit rasanya.

Ketika itu tetangga saya di kampung kembali dilarikan ke rumah sakit. Sakitnya yang ia derita sama dengan sakitnya mamah (gejala struk). Kebetulan mamah baru saja datang dari kampung menjenguk bapak yang sudah beberapa hari menjadi penghuni rumah sakit, dan beliau meminta saya untuk menemaninya menengok tetangga tadi. Ruangan yang cukup kecil untuk lima orang pasien. Namun ketika itu suasana terasa lebih hening. Terdengar seoarang keluarga pasien dengan lesu berkata "kita bereskan saja semuanya, agar segera pulang". Saya pikir ada pasien yang sudah sembuh, namun ketika saya menoleh ke belakang, terlihat sesosok tubuh yang ditutupi kain samping. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un.. Ternyata ada yang meninggal lagi. Rasa sakit menahan tangis muncul kembali. Semua orang di ruangan itu tanpa sadar ikut menitikkan air mata. Padahal almarhumah bukan siapa-siapa kami, bukan kolega, bukan kerabat, bukan keluarga. Tapi tanpa sadar air itu mengalir. Sungguh sakit rasanaya menahan tangis.

Dulu, ketika kajian Qadha dan Qadar, saya memahami bahwa maut adalah kehendak Allah. Ia tidak mampu kita tolak, dan niscaya kedatangannya. Dalam muqowwimat pun sempat dibahas, hendaknya kita bersabar dalam menghadapi cobaan dan menerima qadha dari Allah SWT. Dalam menghadapai kematian sanak saudara kita misalnya, sabar dan menerima qadha artinya kita mampu menerima kematian itu, bahwa memang kematian itu ketetapan Allah, bukan akhirnya menangisi kematian. Saya pun sempat berpikir, sepertinya insya Allah saya mampu bersikap demikian jika suatu saat nanti kematian datang pada sanak saudara saya. Namun kini keyakinan itu mulai runtuh. Jangankan menghadapi kematian sanak saudara, melihat kematian orang lain saja air mata tak mampu dibendung. Semoga Allah memberikan kelapangan hati kepada saya untuk dapat menerima qadhanya. 
Tapi bukan berarti kita tidak boleh menangis, karena memang naluriah ketika kita menangis di saat kehilangan sanak saudara kita, namun yang harus kita ingat dan kedepankan adalah bahwa mati itu adalah keniscayaan dan kehendakdari Allah. Maka mulailah dengan bersabar dan menerima..

Wallaohu'alambi ashowab..
“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan). - See more at: http://www.arrahmah.com/read/2008/05/17/1853-dahsyatnya-proses-sakaratul-maut.html#sthash.uQVcH7dW.dpuf

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...