Download Materi Kajian Islami

Thursday 14 September 2023

Polemik Kebolehan Warung Makan Buka di Siang Hari: Bukan Sekedar Soal Fiqih

 


Seminggu lebih Ramadhan tahun ini telah berlalu. Suasana ruhiyah yang tinggi selalu terasa menyelimuti umat dalam mengisi kesehariannya, mulai dari tilawah hingga tarawih. Begitulah, karena Ramadhan adalah bulan yang mulia yang di dalamnya penuh keutamaan. Dimana pintu surga dengan lebar dibuka dan pintu neraka ditutup rapat. Berbuat seribu kali kebaikan diganjar sebanyak 10 kali hingga 700 kali lipat. Bahkan, khusus untuk pahala berpuasa, hak Allah sendiri dalam menentukan kadar pahalanya hingga tak terbatas. Terlebih lagi, di sepuluh hari terakhir Ramadhan, terdapat malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka bukan hal yang aneh mengapa kaum muslim begitu euporia, bahagia dan antusias menjalani ibadah puasa ini.

Namun, pada suasana semangat ruhiyah tersebut, masih ada saja polemik di tengah masyarakat yang bisa mengurangi kekhusyuan ibadah di bulan Ramadhan dan bahkan terkadang berujung melukai kesucian bulan Ramadhan itu sendiri. Ya, polemik dibolehkan atau tidaknya warung-warung makan berjualan selama bulan Ramadhan (sepanjang hari, bukan hanya sore menjelang malam) masih menjadi perdebatan yang ramai diperbincangkan setiap tahunnya. Bahkan isu orang berpuasa harus menghargai orang yang tidak berpuasa menjadi luka lama tersendiri yang semakin kuat digaungkan kaum liberal. Terlebih isu moderasi agama semakin hari kian menguat di berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tentu saja, kebijakan pro kaum liberal saat ini semakin terbuka lebar. Jika kita amati perkembangan kebijakan terkait hal ini dari tahun ke tahun bisa kita lihat bahwa kebijakan yang tejadi semakin memberikan angin segar bagi kaum liberal. Mulanya pemerintah melarang warung buka di siang hari, kegiatan sweeping menjadi agenda tahunan yang selalu dilakukan. Lalu kemudian warung mulai diizinkan berbuka dengan syarat wajib memakain tirai penutup. Terakhir kondisi hari ini, berdasarkan pernyataan Ketua MUI Cholil Nafis, warung makan tidak perlu tutup pada siang hari selama bulan Ramadan. Mereka tetap diizinkan beroperasi melayani pembeli. Cholil meminta agar umat Islam saling menghargai, termasuk kepada para pedagang yang tetap berjualan saat bulan Ramadan. Senada dengan Ketua MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir mengatakan, bulan Ramadhan bukan menjadi alasan bagi warung makan untuk menutup layanan. Selain itu, sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Amirsyah Tambunan meminta tidak ada pihak yang melakukan razia atau sweeping di tempat makan selama Bulan Ramadan.

Melihat perkembangan kebijakan tersebut, agaknya penguasa lupa tentang salah satu tugasnya untuk menjadikan masyarakat menjadi warga yang beriman dan bertakwa. Ditinjau dari sisi ilmu fiqih, memang benar kebolehan warung makan buka di siang hari itu bisa menimbulkan banyak pendapat. Bisa jadi boleh, atau bisa jadi tidak, tergantung dalil-dalil syara; yang menjadi sandaran keputusannya. Namun, ditinjau dari sisi negara dan khususnya juga ulama sebagai pemimpin atau ra’in, maka wajib hukumnya untuk memastikan semua yang wajib berpuasa agar tidak meningalkan kewajibannya. Maka selayaknya negara membuat support system yang bisa merealisasikan hal tersebut. Misalnya bagaimana negara seharusnya turun tangan langsung dalam kegiatan kerohanian untuk mengoptimalkan ibadah masyarakatnya, bukan hanya sekedar menyerahkan tugas-tugas keagamaan kepada tiap-tiap pengurus masjid. Seperti di era kekhilafahan Islam dulu, seorang khalifah senantiasa menjadi imam tarawih di ibu Kota. Umar bin Khatab selalu menerangi masjid-masjid agar para sahabat menghidupkan malam-malam Ramadhannya dengan tilawah, dan lain sebagainya.

Semoga kehadiran penguasa dan ulama yang ikhlas ingin mewujudkan negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghofur segera terwujud. Khususnya di negeri Indonesia ini. Negara dengan umat muslim terbesar di dunia, yang seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana Islam itu teraplikasi dalam setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukan malah sibuk dengan opini-opini menyesatkan kaum liberal yang menjauhkan umat dari agamanya. Dengan begitu, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan terwujud dan dirasakan setiap makhluk di muka bumi ini. Wallohu’alam bi showab[]


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang sopan, jika tidak maka admin akan memasukkannya dalam kategori spam.

Anggaran IKN Melambung Tinggi: Untuk siapa?

              Meski banyak pro kontra sejak diwacanakannya, pemindahan ibu kota negara  Indonesia yang lebih dikenal sebagai Ibu Kota Nusant...